Entah apa yang merasukimu.. Penggalan lagu yang sempat populer ini mewakili gambaran keinginan untuk menggoreskan sedikit pengalaman saya saat ikut pada Ekspedisi Selendang Biru di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, sebulan lalu. Ini hanya sisi lain yang saya ingat selama ekspedisi.
Awalnya saya berpikir hal ini hanya guyonan dari senior saya yang juga mantan Ketua Mapala Wallacea UDK, kak Chan—begitu saya akrab menyapanya. Namun dengan gambaran yang cukup jelas akan rencana ekspedisi yang sempat “tertunda” sejak tahun 1990-an, keindahan alam air terjun, zona rimba dan keliaran alam yang terlintas dibenak saya, serta tantangan akan tapak sayup yang belum tergambarkan menambah kuat keinginan untuk langsung meng”iya-kan” ajakan itu.
Mulanya squad yang akan disusun dalam perjalanan kali ini masih agak buram dalam bayangan saya, karena jika melihat kondisi jalan yang akan kami lalui serta beban yang akan kami pikul, membutuhkan tenaga yang tidak sedikit. Anggota yang ikut harus memahami betul soalan mountaineering atau setidaknya yang cukup berpengalaman dalam pendakian.
Empat hari setelah pertemuan awal saya, Chan dan Isal, akhirnya dilakukan rapat tim ekspedisi. Atas rekomendasi ka Chan, kami melibatkan tiga KPA (Komunitas Pecinta Alam), yakni Rivan dari KPA Manguni Green Community dan diikuti oleh Panji saat injuri time keberangkatan kami; Boim dari KPA Rhipidura; Aping dari KPA Gurilas dan tentunya dari Mapala Wallacea bernama Jojo yang kami rekomendasi untuk ikut pada ekspedisi kali ini.
Chan cukup mengenal sesiapa anggota dari ketiga KPA tersebut yang memenuhi kualifikasi. Standar kualifikasi tentu bukan sekadar kuat memikul ransel dan menanjak. Beda dengan pendakian di gunung-gunung yang jalurnya sudah terang benderang. Medan jalur yang bakal ditempuh berkisar tiga hari perjalanan (belum dihitung pulang) tidak dapat diprediksi sehingga di ekspedisi ini membutuhkan beragam keterampilan dan saling mengisi kekurangan guna mendukung keselarasan dalam tim.
Pertemuan awal hingga ekspedisi ini berlangsung bersama anggota yang masih relative masih muda menurut penilaian saya, memberikan suasana yang nyaman dan komunikatif. Seperti Boim dengan celotehan gurihnya membuat kami sering tertawa dan kelakarnya memberikan semangat bagi tim ekspedisi. Lucu memang dan tak kalah penting Boim inisiator dalam hal isi perut.
Lain lagi dengan Rivan yang agak cenderung pendiam menurut saya, tersimpan ketelitian serta kebijaksanaan dalam setiap pengambilan keputusan, cara berpikir kreatif serta solutif disetiap kendala yang dihadapi. Meski sering kali menjadi orang paling di belakang saat perjalanan bukan karena stamina yang terkuras namun dia juga ditugaskan untuk menandai jalur perjalanan melalui Global Positioning System (GPS).
Sementara Aping mungkin dia yang paling muda dalam ekspedisi ini, lebih kepada terburu buru, apa adanya namun paling tidak mudah mengeluh dalam kondisi apapun. Saya teringat saat perjalanan itu, awalnya dia menerima sepatu boots yang kami berikan, namun akhirnya selama perjalanan sepatu itu hanya tergantung pada tas kerilnya. Anehnya juga sandal merk yeye yang sempat dia beli pun hanya di pake saat kami beristirahat di basecamp pertama, kedua dan ketiga. Saya tak habis pikir dengan kaki telanjang, Aping berjalan dengan santainya di atas batu, pinggiran tebing bahkan di dalam air. “Ping nda saki tu kaki?? Tanyaku saat berhenti mengatur nafas yang terengah di mana Aping tepat berada di belakangku. Aping hanya mengurai senyumnya dan berlalu berjalan mengikuti jalur.
Jojo pun tak kalah pentingnya dalam perjalan kali ini, selain mereduksi angggota ekspedisi yang relatif masih muda, dia juga sigap dalam segala hal, unik dan mempunyai keahlian dalam hal climbing. Selain itu dia mempunyai naluri yang cukup tajam, hal itu tergambar saat perjalanan pulang dihari kedua. Iya memutuskan untuk tinggal bersama Aping untuk menunggu kami berempat Isal, Rivan, Panji dan saya, yang tertinggal di belakang. Dia yakin bahwa tidak ada logistik yang kami bawa ditambah kondisi sungai yang meluap akibat hujan yang terus berlangsung. Dan jika jojo memutuskan untuk melanjutkan perjalanan maka kami pun tak tahu apa yang akan terjadi. “Bisa jadi ada yang kalekos bekeng sibuk orang kampung” gumam saya.
Lain halnya dengan anggota tim yang sudah saya kenal beberapa hari sebelum pelaksanaan ekspedisi, Panji anggota muda KPA Manguni Green Community terdengar gembira dibalik telepon genggam saat Rivan menghubunginya. Keputusan ini kami ambil sebagai siasat untuk menambah tenaga jika saja ada diantara kami yang mungkin batal untuk ikut. Dan benar saja, saat tim tiba di desa Bumbung, Hadi salah seorang anggota Taman Nasional Bogani Nani Warta Bone resort Maelang belum diberikan izin untuk ikut ekspedisi karena ada tugas kantor yang lebih penting untuk diikuti, sehingga Panji masuk dalam squad tim ekpedisi.
“Panji, ngana siap ikut?? Tapi dengan syarat saat pulang nanti kamu harus membawa keril berisi alat climbing yang sudah di-packing. Dengan penuh keyakinan Panji menyatakan “siap”, yang penting bisa diikutkan dalam ekspedisi ini. Kondisi ini cukup membuat Panji kehabisan tenaga saat perjalanan pulang, apalagi menaiki dan menuruni batu pinggiran sungai, bukit serta tebing yang terjal.
Dalam perjalanan pulang saat saya, Isal, Rivan dan panji bertemu di cabang sungai pertama, terlihat guratan lelah yang sangat namun tidak berani dia ungkapkan kepada saya dan Isal. Karena selain tali panjat yang sudah basah tentunya menambah beban berat,juga kondisi trekking yang masih cukup panjang dan menguras tenaga tentunya. “Kalu kita so nda mampu kak, kurang ba anyor (menghayutkan diri) di arus” seketika kami tertawa sambil melepas lelah.
Itulah sedikit gambaran singkat tentang anggota tim yang telah menjadi bagian dari hidup dan mati kami sepanjang perjalanan ekspedisi selendang biru ini. Selain doa yang terus kami panjatkan, kekompakan tim tak kalah pentingnya dalam setiap perjalanan sehingga tak terlupakan.
“Dunia ini terlalu luas, anggaplah dunia ini kecil nak” sedikit penggalan komunikasi antara ibu dan anak pada film Man Of Steel, saat saya sedang menulis pengalaman ini memberikan sedikit pelajaran dan mempunyai keterkaitan erat saat tiba pada basecamp terakhir di Bukit Kabela.
Bunyi Seruling
Sekitar pukul 22.00 Wita, pada perjalanan malam menuju air terjun, kami melihat sebuah cahaya lampu. Tidak lain pasti Chan, Boim dan Papa Budi. Saya begitu bersemangat melompati bebatuan di tepi sungai.
Tanah di dataran tinggi yang di apit dua aliran sungai menjadi basecamp terakhir kami sebelum ke air terjun.
“Pasang hammock di situ jo,” ucap ka Chan kepada saya. Meski agak ragu namun melihat kondisi lain yang sudah tidak memungkinkan lagi maka akhirnya saya memutuskan untuk menggantung hammock tepat dipinggir sungai. “Itu kapala jangan ka arah kuala (Kepala jangan mengarah sungai)” ucap Chan kembali mengingatkan.
Saya pun langsung teringat akan sisi lain dari setiap pertemuan cabang sungai, di mana kami tepat berada di posisi tersebut. Namun hal itu tidak terlalu saya pikirkan karena kelelahan yang saya rasa dengan sesegera mungkin untuk mengganti pakaian agar tidak terserang radang dingin.
Usai menggantung pakaian basah dan menghangatkan badan dengan pakaian kering, kami langsung mendekati perapian yang sudah disiapkan oleh Papa Budi.
Sementara Boim mulai meracik masakan. Udang dan siput jadi satu dengan bumbu pedis ala Boim. Rasa super pedis menurut Isal cukup mengalihkan rasa lelah dan dingin kami yang baru tiba. Namun karena alergi udang, saya memilih untuk makan mie dan nasi secukupnya. hidangan habis tak tersisa dengan begitu lahapnya. Namun terlihat isal makan hanya secukupnya saja.
Malam mulai sangat larut. Seusai makan, menghisap rokok beberapa batang, ngobrol perjalanan esok, dan semua terlihat gembira karena Chan menuturkan bahwa air terjun sudah sangat dekat. “Coba ngana dengar bae bae itu aer terjun pe bunyi,” jelas ka Chan saat memberikan saya keyakinan bahwa air terjun sudah sangat dekat. Saat itu juga saya memusatkan pikiran dengan sedikit memejamkan mata mencari deburan dan dentuman air yang jatuh dari ketinggian sesuai dengan apa yang diungkapkan Chan. Bahkan menurut papa budi perjalan ke air terjun hanya berkisar 1 (satu) Jam. Saya langsung menimpali, “Papa budi pe satu jam mungkin sama deng sehari perjalanan ini” dan semuanya tertawa.
Capek sangat terasa saya memutuskan untuk terlebih dahulu masuk ke hammock dan sesegera mungkin untuk memejamkan mata sembari mendengarkan alunan suara sungai. Belum juga rasa kantuk menghiasi tidur saya. Hanya beberapa menit kaki saya terhampar dikain hammock, namun sangat terasa sentuhan di betis kaki kanan saya sesuatu ada yang membelainya. Saya pikir ada seseorang yang hendak melintas di bawah hammock, namun tidak ada satupun yang saya lihat karena saat itu rasa sadar saya masih tinggi. Segera saja saya mencari di bawah kiri dan kanan dan tidak ada satu pun mahluk yang lewat. Dan memang selama saya melakukan pendakian di gunung, maupun dialam terbuka tidak pernah saya alami hal seperti itu. Kalau hanya diberitahukan oleh teman bahwa ada sosok mahluk gaib di sebelah saya atau tepat di sekitar kami berdiri sudah sering, bahkan masih sempat saya bertanya sosoknya seperti apa, jenis mahluk apa dan bagaimana rupanya, namun kali ini tidak ada yang bisa saya tanyakan atas hal itu, dan bisa jadi suasana tenang malam itu akan berubah panik dan mempengaruhi suasana batin teman-teman, jadi saya putuskan untuk saya rasakan sendiri.
Interaksi gaib itu sangat terasa, sehingga langsung saja saya berguman, agar jangan diganggu karena saya mau tidur dengan menggunakan bahasa mongondow ’’Dikapa mo ganggu. Sin Posiugan’’ (Jangan ganggu. Saya mau tidur)’’. Kontan bulu kuduk saya berdiri, suasana malam yang gelap gulita, dingin ditambah rintik hujan yang sesekali datang menambah suasana seram dan angker. Bagusnya saya tidak merasakan sakit karena biasanya jika tak kuat bisa saja dibawa mahluk halus atau hilang kesadaran saya.
Sesekali saya melihat kearah teman-teman yang masih asyik ngobrol mungkin saja ada diantara mereka yang ‘mata terang’ (mampu melihat mahluk gaib/halus) dan melihat sesuatu di arah tempat saya berbaring, namun rupanya tidak ada yang merasakan aneh. Sesekali saya menunggu mungkin saja ada interaksi lanjutan namun hal itu belum terjadi.
Agak takut juga sebenarnya, karena di tengah hutan, dikegelapan malam yang pekat bisa saja kondisi lelah dapat dipengaruhi mahluk yang tak kasat mata, dan dengan perasaan yang agak takut saya memutuskan untuk mengambil kitab Al’qur’an seukuran saku yang saya bawa untuk dibaca. Sekitar 15 menit berlalu, saya memutuskan untuk tidur karena tidak terdengar lagi suara canda tawa dari teman-teman. Rupanya mereka sudah pada masuk ke hammock dan tertidur pulas, sementara Papa Budi yang hanya beralaskan matras dan sarung yang ia bawa, nyenyak disamping perapian. Hawa dingin sunyi dan seram semakin terasa. Kali ini tak ada siapapun kecuali saya yang masih sadar. Saya pun memutuskan untuk menggantung headlamp tepat diatas kepala samping kanan agar sedikit menerangi sekitar tempat hammock digantung. Hanya terdengar hanya aliran sungai. Saya teringat arti dari firman Allah SWT bahwa “Surga itu di bawahnya mengalir sungai-sungai” membawa bayangan itu ke alam bawah sadar dan saya pun tertidur.
Entah berapa lama berlangsung saya kembali terjaga—antara sadar dan tidak—tiba-tiba terdengar sesuatu yang teramat ganjil. Suara yang tidak mungkin ada di tengah hutan. Tidak jauh dari tempat kami, terdengar sayup suara seruling sangat merdu, ya sangat merdu menyatu dengan suara arus sungai yang jatuh menimpa batu mencari jalan keluar. ’’Rupa ada bunyi seruling ini’’ pikirku dalam hati. Mungkin itu hanya halusinasi saja, dan kembali menutup mata. Namun suara seruling itu kembali terdengar. Kali ini cukup terdengar jelas.
Rasa penasaran, saya memutuskan untuk mendengarkan dengan seksama seperti apa bunyi seruling itu. “Ah ini bunyi seruling saat tarian kabela (tari penjemput tamu) digelar sama halnya bunyi seruling pada tarian kabela yang sering saya dengar pada acara sebuah pernikahan,” gumam saya dalam hati.
Di tengah hutan dan sangat jauh dari perkampungan tidak mungkin ada yang memainkan seruling. Lalu siapa?? Tidak mungkin suara handphone karena semuanya dalam kondisi mati. Atau mungkin saja bunyi alarm? Ah saya yakin si empunya handphone pasti kembali tertidur pulas jika dengar bunyi seruling seperti ini, dan apalagi belum pernah sekalipun saya mendegar bunyi alarm demikian. Siapa pula yang memasang alarm bunyi seruling nada tarian Kabela??
Hati saya berkecamuk tidak menentu. Memisahkan antara gaib dan nyata. Badan terasa dingin dan ringan.
Bunyi seruling berlangsung sekitar sepuluh menit, tepat di samping kepala sebelah kanan. Sayup terdengar namun begitu jelas, dengan irama mendayu, terkadang mendekat dan kembali menjauh, terenyuh akan arti lagu yang tersirat dalam syair bait demi bait lagu. Siapa pun yang memainkan suling ini pasti sangat ahli. Tidak ada nafas tersedak dan sesekali terhenti, begitu merdu sama persis dengan apa yang saya dengar saat acara adat dan sakral di kampung-kampung dan di kotaku. Dari awal sampai akhir hanya suara seruling, tidak ada alat musik lain.
Saya pun mencoba larut mengikuti irama suling itu sambil bernyanyi dalam hati. Kemudian sayup terdengar lagu kosilig silig dengan syair yang begitu mengharukan termenung diliputi duka karena merindu. Ko silig silig dako takod takod (disaat turun dan mendaki) ko pikir pikir dako tanob tanob (disaat berfikir lalu merindu), no itorob may in Totabuan ku (teringat akan totabuanku). Bo aku’oi (dan diriku), ko’ina subuh (diwaktu subuh tadi), bodinapatmai, in pongoibu (aku mendapati diriku sedang termenung diliputi duka karena merindu). Palat nolabu’ ule ule lua’ku (dan segera jatuh air mataku) ule ule lua’ku (air mataku) ule ule lua’ku (air mataku) bo ule ule lua’ku (air mataku).
Bunyi seruling itu tidak berhenti begitu saja; bunyi seruling berganti nada seperti syair yang begitu saya kenal sejak masa kecil, lagu yang sering dinyanyikan ibu saya waktu saya masih dalam buaian dan lagu wajib yang sudah saya hafal sejak sekolah dasar, lagu ki bata dengan syair merdu akan kegelisahan seorang manusia remaja : Ki bata ki dumondaloi (anak remaja yang gelisah), limitu’ mako kon baloi (duduk diam didalam rumah), limitu mako tumolundoi (duduk sambil termenung) mo golat kon moko ki angoi (menunggu seseorang yang datang) Nonaid bo mo nononggulanoi (menyisir rambut dan bersolek) Mo golat kon moko kiangoi (menunggu seseorang yang datang) tonga’ dia’ bi’ in mo ki angoi (hanya saja taka da yang datang) ki bata ki dumondaloi (anak remaja yang gelisah) Lua’nya mo dapot kon ayoi (air matanya jatuh sampai di pipi).
Rasa takut bercampur penasaran menyelimutiku dikegelapan malam yang hitam-pekat. Terasa keringat dingin membasahi kepala dan tubuhku. Rasa percaya atau tidak berkecamuk dalam dada, rasanya pagi sangat lama menjelang. Suara seruling itu sangat jelas. setelah beristigfar berkali-kali barulah saya yakin bahwa suara itu sangat jelas dan bukan sekadar imajinasi. Siapa yang memainkan seruling itu? Mengapa hanya terdengar oleh saya? Sampai saat ini masih bergelayut dibenak saya.
Setelah beberapa lama berselang, bunyi seruling menghilang dibalik suara arus sungai yang beradu dengan batu. Saya memutuskan untuk bangun dari tidur dengan sesekali melihat ke arah kanan saya dari balik hammock. Jika saja ada mahluk tak kasat mata mungkin terlihat. Namun saya memang sejak kecil sampai sekarang tidak pernah melihat mahluk halus, bahkan ada yang mau menawarkan untuk membuka mata batin pun saya tidak mau karena hal itu, sebaiknya hanya bagi mereka yang diberikan Tuhan indera ke enam untuk bisa melihat hal gaib.
Syair lagu tarian Kabela mempunyai makna simbolik yang terkandung di dalamnya sesuai dengan isi tarian, syair lagu ini memiliki makna simbolik seperti pada penyediaan ubuyu pomamaan yang artinya sirih dan pinang ini merupakan simbol dari Bolaang Mongondow bahwa mereka merasa hormat kepada tamu yang sudah datang. Syair lagu ini biasanya dinyanyikan pada saat penjemputan tamu dan dimeriahkan oleh alat musik berupa suling dan syair lagu yang di bawakan pada tarian kabela yaitu kosili-silig dan kibata.
Sementara Rivan yang tepat berada satu bentangan tangan di samping kiri saya terlihat hammocknya bergoyang dan sepertinya dia juga tidak bisa tidur. Saya hanya bisa menunggu kiranya Rivan bangun dari hammock-nya. Harapan saya terjawab. Rivan akhirnya bangun dan memutuskan untuk membuat perapian sembari membuat kopi. Namun begitu, saya mencoba untuk melanjutkan tidur. Saat mata coba terpejam, suara seruling itu selalu saja menghantui meskipun sudah tidak terdengar lagi. Sekitar 20 menit berselang saya memutuskan bergabung dengan Rivan.
“Fan, bekeng kopi kwa” ucap saya. Rivan terlihat agak kaget . “Eh kak, iyo mo kase panas air dulu” ujarnya. Malam itu di zona rimba, sekira pukul 2 malam menjelang pagi terlihat gelap pekat kami berdua dengan santainya menyeruput kopi sembari bercerita tentang perjalanan dan persiapan yang akan dibawa esok ke air terjun.
Awalnya saya ingin memberitahukan apa yang saya alami, namun saya memutuskan untuk bertanya kenapa iya tidak bisa tidur.
Dengan nada agak berat, Rivan pun menimpali pertanyaanku “Kita dengar suara orang pria dewasa mengucapkan salam Ka. ’’Assalamu’alaikum’’. Sumber suara itu cukup dekat kata Rivan. Dia bercerita sempat terbangun dari hammock-nya dan menyenter ke arah di sekitar sumber suara. Tidak ada siapa-siapa selain kami yang sudah tertidur. Dia mencoba tidur kembali meski pun sangat sulit. Dia terus berpikir ‘sesuatu’ mengenai sumber suara itu.
Saya tersenyum dan memberikan tanda ke Rivan bahwa di saat yang bersamaan, saya mendengar suara seruling melantunkan nada. Nada penjemputan tamu biasa dengan tamu besar kerajaan Mongondow. Cukup lama. Nada seruling yang berganti-ganti lagu ini sangat akrab ditelinga manakala sebuah acara adat menyambut tamu besar dari luar daerah dengan tarian adat. Bedanya hanya seruling saja, tidak ada alat musik lainnya yang biasa digunakan.
Saat itu, kembali bulu kuduk kami berdiri, namun hal ini biasa terjadi di mana pun apalagi di tempat seperti itu. Saya selalu berpikir positif bahwa disetiap tempat d imana pun pasti ada mahluk halus.
Pun bukit yang kami dirikan sebagai basecamp, saya tidak tahu bahwa itu bernama Bukit Kabela, sama dengan nama tarian adat Kabela yang digunakan pada setiap penjemputan tamu besar.
Tak terasa pagi menjelang, bumi pun terlihat terang, rasa tenang dan damai menyelimuti kami pagi itu. Dan kamu berdua akhirnya memutuskan untuk tidur karena beberapa jam lagi kembali meneruskan perjalanan ke air terjun.
Apakah hanya kebetulan atau memang hal itu sebagai bagian dari penjemputan kepada kami sebagai tamu, apalagi kami bersama dengan Isal dan Chan yang merupakan turunan langsung dari Raja Manuel Manoppo, salah satu raja di Bolaang Mongondow.
Pagi menjelang, tepat pukul 8, segera kuhempaskan diri bangun dari tidur dan bergegas untuk membersihkan diri dan bersiap kembali melanjutkan perjalanan. Tidak ada rasa gelisah. Hanya keinginan kuat untuk segera sampai di lokasi air terjun itu. ‘Selendang biru, kami datang’ gumamku. Setelah merasa siap, sayapun memutuskan unutk sekedar melihat sekitarku, rimbunan pohon yang lebat ditumbuhi lumut pada setiap ruasnya memberikan rasa segar dan nyaman. Posisi kami mendirikan basecamp memang tepat pada pertemuan dua arus sungai, dan itu membuat saya kembali berpikir jika seandainya posisi kepala saat aku tidur mengarah ke di bawah sungai mungkin akan terjadi sesuatu yang lebih dahsyat lagi. Dan sebaiknya jangan dicoba.
Saya dan Isal segera menyusul teman-teman lain yang terlebih dahulu, setibanya di air terjun yang kami tuju, rasa syukur yang tiada terhingga kuhaturkan kepada Allah Subhanahuwata’ala, karena kami bisa sampai ke tempat yang belum pernah dikunjungi oleh orang lain selain kami. Sekitar hampir 2 jam berada di tempat itu ditambah hujan kembali tercurah, kami memutuskan untuk segera kembali ke basecamp.
Setibanya di basecamp, saya melihat kondisi hammock dan sleeping bag agak basah, tapi beruntung masih bisa dikeringkan dengan menggunakan tisu yang kami bawa. Usai makan malam saya memutuskan untuk segera kembali ke hammock, sambil menyeruput rokok dji sam soe. Saat itu kembali saya teringat bunyi seruling itu, namun hingga aku tertidur bunyi suling itu tidak lagi terdengar.
Kemudian, alam gaib menunjukkan sesuatu ‘cara’ yang berbeda; ‘mereka’ datang dari alam bawah sadar saya; mimpi aneh yang tidak pernah saya alami.
Perjalanan spiritual tidak berhenti pada malam pertama, dengan rasa lelah dan kantuk beradu bercampur dan menyatu, saya tertidur. Di mimpi itu, saya merasa tiba pada sebuah rumah yang di sekelilingnya terdapat rerimbunan pohon dan terdapat hanya ada satu rumah sangat sederhana di situ. Sayangnya saya tidak ingat di mana letak rumah itu berada. Lampu temaram dengan teras kayu di depan rumah, sayapun mengucapkan salam, karena rumah dengan pintu yang terbuka lebar, dan lampu di dalam rumah menyala dengan baik. ‘Assalamu’alaikum’ ucapku. Taklama seorang nenek membalas salam saya dengan nada tertatih dan berat. ‘Wa’alaikumsalam’ balasnya dari balik kamar. Terlihat sang nenek hanya menggunakan baju terusan warna hijau tua dengan rambut terikat dan berjalan di bantu dengan tongkat kayu.
Karena merasa iba, saya meraih tangan sang nenek dan segera memapah ke arah kursi kayu yang sudah terlihat sangat lama namun masih kuat untuk menopang tubuh kami.
Di ruang tamu rumah sesekali saya melihat kondisi rumah yang masih cukup bagus dan terawat. Terlihat dua pintu kamar serta dapur yang tertutup tirai. Sesekali bunyi jangkrik menemani kami. Namun tidak kuingat apa yang kami bicarakan saat itu, hanya saja sang nenek selalu saja tersenyum dan sekali memintaku untuk membopongnya ke arah teras rumah sesaat sebelum saya meminta untuk pulang.
Tidak ada rasa takut yang saya rasa, bahkan saat saya meninggalkan rumah, terlihat sang nenek berubah menjadi sosok putri yang cantik jelita. Mungkin ini seperti dongeng, namun dalam mimpi itu teringat jelas wajah cantik bak putri seorang raja yang menghias wajahnya, ayu dan sangat santun.
Ada pesan moral yang kutangkap saat bermimpi akan hal tersebut, bahwa dengan niat yang baik dalam situasi apapun dan kapan pun apalagi seperti kita datang untuk bertamu di rumah orang lain maka niat baik harus menjadi sandaran dan tujuan. Apalagi pada daerah yang kita tidak tahu. Maka insya Allah di mana pun kita berada, dengan niat baik maka perjalanan itu akan berjalan baik dan lancar.
Tak sadar mentari menghiasi langit hingga menembus rimbunan pohon hutan, saya pun terbangun dengan perasaan senang. Hal ini tidak saya ceritakan pada siapa pun hingga kami kembali ke rumah. Pengalaman ini semakin mengokohkan imanku bahwa sesungguhnya Allah menciptakan jin dan manusia untuk menyembah-Nya. Dan setiap orang harus meyakini bahwa ada hal gaib di luar sana yang kita tidak tahu kapan, di mana dan mengapa kita bertemu namun semua itu menjelaskan kekuasaan Tuhan akan semua mahluk ciptaan-Nya.
Wallahu’alam bishawab.
Penulis : Irwan Kurniawan Dingkol, S.Hut
Tulisan Terkait: