’’Saya menemukan keseimbangan duniawi dengan masuk ke hutan rimba. Kiblat hidup tidak melulu peradaban. Jiwa purba kita cenderung kembali ke habitatnya—alam liar. Siapa pun pasti merasakan kedamaian di sana’’
—Faisal Manoppo—
Jumat 6.12.2019 pukul delapan pagi. Langit cukup cerah. Sorot mentari sulit masuk ke permukaan bumi terhalau keangkuhan rimbunan pepohonan seolah mencakar langit. Bebatuan dan lingkar pohon raksasa basah berlumut. Saya sudah terbangun menatap sekitar tanah tinggi yang di apit dua aliran sungai tempat kami bermalam. Pakaian dinas bekas perjalanan semalam masih basah terhampar bergantungan bak di pasar pakaian bekas. Celana dinas saya robek di selangkangan dan kedua di bagian paha karena jalur ekstrem kemarin. Wajar, usia celana ini sudah cukup tua menemani saya selama pendakian sejak masa kuliah 2003 silam. Kawan-kawan nampak nyenyak terbungkus di balik hammock ditemani nyanyian arus sungai. Matras dekat perapian yang ditiduri Papa Budi kosong. Kemana Papa Budi???
Suasana di spot camp dadakan ini nampak berbeda. Hawanya lembab. Saya mengambil kamera merekam sekitar. Seusai itu duduk dekat perapian. Papa Budi muncul dengan membawa gulungan senar pancing yang terbuat dari kayu milik saya. Wajahnya agak kesal. ’’Putus ini senar dari pe kacili. Pe besar itu sugili’’. Papa Budi sedari tadi pergi memancing. Senar pancing seukuran delapan kali lilitan benang yang saya bawa tidak mampu menarik sugili di sungai. Saya hanya melongo melihat senar pancing saya. Kalau saya tahu banyak sugili besar di sini, pasti saya membawa senar yang sepadan. Saat ini impian kami makan daging sugili pupus.
Tim mulai terbangun mendengar obrolan saya dengan Papa Budi. ’’So dekat itu air terjun. Cuma berapa jam so sampe,’’ kata Papa Budi memberi semangat. Kali ini perkiraan papa Budi bukan siasat. Kami hanya mencuci muka. Pakaian dinas–masih basah–kembali melekat di badan. Namun di hari ke empat ini kami cukup berbahagia karena tidak memikul ransel, kecuali Panji dapat giliran membawa ransel berisi peralatan climbing. Tubuh Panji relatif boleh dikatakan lebih ‘kekar’ dibanding kami bertujuh—Papa Budi tidak dihitung. Itulah mengapa Chan memilih Panji. Saya tetap membawa tas kamera dan tumbler. Peralatan memasak, mie instan dan kopi bagian Aping. Kami berencana sarapan dan ngopi di air terjun. Sementara Papa Budi stand by di basecamp.
Perjalanan ke lokasi air terjun berlanjut. Chan, Boim, Rivan, Jojo dan Panji lebih cepat meninggalkan saya dan Iwan yang masih di basecamp. Satu aliran sungai pertama kami lewati dan kemudian menyusuri pinggiran hutan dekat sungai. Jalur cukup landai; melewati tanaman padat berduri dan pohon yang tumbang. Tiga jam kemudian, saya dan Iwan kembali berkumpul dengan lainnya. Sepertinya air terjun masih jauh. Chan memberikan petunjuk, bila mulai terdengar kuatnya deru air, pertanda titik akhir perjalanan sudah dekat.
Di tanah yang cukup lapang di antara batu besar tepi sungai, peralatan masak digelar. Kawan-kawan mulai lapar. Boim cekatan memasak mie kuah instan dan kopi panas. Saya merasa belum cukup lapar. Segelas air putih hangat terasa nikmat melepas dahaga dan lelah. Masih di tempat itu, kawan-kawan sudah merasakan kebahagiaan. Jojo, Panji, Rivan, Boim dan Aping berpose bak pasukan Power Rangers di atas bebatuan besar di tengah sungai. Iwan bertindak sebagai tukang jempret. Chan dan saya tertawa melihat tingkah mereka.
Seberes mengalas isi perut dan mengepul asap tembakau, kami mulai melanjutkan perjalanan. Chan, Panji, Rivan, Jojo dan Boim kembali meninggalkan Iwan dan saya. Ya terang saja, bagian saya dokumentasi memang berjalan agak pelan karena tiap sudut tertentu saya merekam. Mengeluarkan dan memasukkan kamera terbungkus kembali dengan plastik di dalam tas cukup merepotkan.
Perjalanan kembali menyusuri tepi sungai berbatu. Sejam kemudian, di kejauhan, suara deru air cukup terdengar jelas. Iwan memberi kode air terjun sudah dekat. Di balik bebatuan raksasa dan tebing berbatu, separuh air terjun mulai nampak dari jarak seukuran lapangan bola. Iwan lebih bersemangat. Kaki saya melompat begitu cekatan di antara bebatuan di tengah sungai menyusul kawan-kawan yang sudah sampai. Akhirnya Air Terjun Selendang Biru sudah di depan mata. Sesaat kemudian kedatangan kami di sambut hujan.
Tebing batu tinggi di antara air terjun seperti simbol omega, di mana air kolam besar mengalir keluar di antara batu raksasa setinggi tiga meter tepat di tengah lingkaran tebing hitam bak sumur tua raksasa. Keliling permukaan tebing penuh lubang-lubang dangkal bermacam ukuran. Ada seukuran empat orang dewasa bisa duduk di dalam lubang itu. Saya langsung mengingat film Anaconda. Adakah ular bersarang di dalam sana? Sebelumnya, Papa Budi bercerita, di tebing air terjun itu pernah membunuh ular sanca sepanjang delapan meter. Kisah itu hanya sepintas datang kemudian sirna manakala kami menikmati kebahagian telah terwujudnya misi kami.
Untuk sampai di atas batu besar yang menahan isi kolam berdiameter 30 meter persegi ini, kami berjalan di atas bentangan batang kayu besar yang tumbang. Harus berhati-hati karena licin. Lebih aman, sepatu boots dan kaos kaki di lepas.
Jojo dan Rivan mulai melaksanakan tugasnya; mengukur diameter kolam dan ketinggian air terjun dengan rumus sudut dan jarak. Jojo berenang hingga di bawah jatuhnya air seraya membentang tali. Rivan menahan tali dan berdiri di batas kolam menghadap air terjun. Selanjutnya Rivan mengambil posisi sudut yang tepat untuk membidik ketinggian air terjun dengan alat sederhana, klinometer analog.
Rencana kami akan melakukan teknik rapling dari atas air terjun tidak dapat dilakukan karena kondisi hujan serta harus menanjak lagi ke punggungan bukit yang terjal selama sekitar empat jam. Sisa waktu juga membatasi rencana atraksi ekstrem itu. Namun paling tidak kami sudah mengantongi sejumlah data yang cukup untuk di bawa pulang. Mulai awal perjalanan masuk di TN BNW, Chan dan Rivan mencatat sejumlah vegetasi endemik yang masih tumbuh. Juga jenis satwa liar dan burung yang dilindungi. Chan memiliki pengetahun yang cukup mumpuni untuk mengenal vegetasi dan satwa liar. Hanya dengan mendengar suara burung, dia tahu nama (latin) jenis; rupa; tingkah laku burung itu. Bagi saya, pengetahun ini tidak banyak orang kuasai. Rivan mencatat setiap penemuan vegetasi dan satwa liar. Ekspedisi air terjun Selendang Biru bukan sekadar tujuan. Melainkan juga kami mengidentifikasi satwa dan vegetasi serta mendokumentasikan kondisi hutan rimba di TN BNW.
Masih di lokasi air terjun tingkat pertama paling bawah. Jojo dan Rivan telah menunaikan tugasnya. Sisanya, kami berswafoto ria. Kamera DSLR dan Mirrorless tidak bisa di pakai karena hujan. Untung ada kamera segala medan; Gopro versi anti air.
Rivan menantang Panji untuk memanjat tebing batu berlubang besar dekat air terjun. Ini sangat berbahaya. Tanpa pikir panjang, Panji langsung melompat di kolam menuju tebing yang ditunjuk Rivan. Di sini saya mengakui kemampuan Panji dengan tanpa alat memanjat tebing setinggi delapan meter itu. Tidak cukup lama Panji sampai di lubang dangkal yang bisa ditongkrongi lima orang dewasa. Panji membentang bandana warna orange kebesarannya, Manguni Green Community. Hujan mulai deras. Debit air terjun kian besar. Angin dari hempasan terjunan air mulai terasa kuat. Saya memberi kode kepada Panji untuk segera turun dari tebing itu. Rivan yang juga mencoba memanjat tebing tempat Panji berdiri, saya panggil untuk kembali. Apa saja bisa terjadi menimpa di antara kami. Saya sangat khawatir jika batang kayu besar jatuh dari muntahan air terjun. Di dasar kolam sedalam tiga meter itu juga terdapat batang-batang pohon yang hanyut jatuh dari air terjun.
Sejam lebih kami mengeksplorasi sekitar air terjun. Derasnya curah hujan membuat kami harus segera meninggalkan lokasi. Sekitar pukul satu siang akhirnya kami memutuskan kembali ke basecamp. Di tengah perjalanan, di antara kami terpisah jarak dan jalur. Saya posisi terdepan menyusuri tepi sungai dan punggungan bukit di jalur semula. Tanpa saya sadari, Iwan dan Rivan memilih jalur berbeda dengan menyusuri hutan. Saya juga tidak begitu mengira posisi Panji yang memikul ransel berisi peralatan panjat, tertinggal paling belakang. Sementara Chan, Jojo dan Boim sudah lebih dahulu meninggalkan air terjun di saat lainnya sedang asyik berswa foto.
Di tengah perjalanan, saya mulai sadar, jalur yang saya lewati bukan di jalur sebelumnya menuju air terjun. Saya tersesat di punggungan bukit terjal. Hingga masuk di jalur buntu karena sangat curam. Satu-satunya jalan, saya harus turun tebing setinggi empat meter. Di bawahnya arus sungai sangat deras dan berbatu. Ini sangat beresiko tinggi. Nyawa taruhannya. Bisa-bisa saya terlempar dan terbawa arus. Tidak ada jalan lain, saya harus turun dari tebing ini.
Perlahan tangan saya meraih akar pohon dan menjejakkan kaki di sela batu yang timbul di permukaan tebing. Beberapa batu sempat terlepas dari tebing. Posisi badan kadung menempel di tebing kemiringan 75 derajat. Tinggal dua meter lagi sampai di atas permukaan batu besar di tepi sungai. Saya mencoba menguatkan batin yang mulai goyah. Batu demi batu saya jejaki seraya meraih akar dan batang tanaman sampai akhirnya kaki memaksa meraih pijakan di atas batu besar. Alhamdulillah, saya berhasil.
Di tengah saya menyeberang sungai melewati batang pohon tumbang, tidak disangka di atas tebing tadi tiba-tiba Aping muncul. Waduh..! Bahaya! Saya berteriak Aping untuk balik arah jangan turun dari tebing yang saya lewati. Namun dia nekat. Saya terpaksa balik lagi. Ransel miliknya saya raih dari bawah. Berhati-hati Aping mencoba turun sembari saya mengarahkan. Batu pijakan seukuran kepalan tangan lagi-lagi terlepas dan hampir menimpa saya. Sampai akhirnya saya menahan kaki Aping dijadikan pijakan lalu menangkap badannya setelah mendegar aba-aba dari saya. Kami selamat. Saya dan Aping kemudian melanjutkan perjalanan menyeberangi sungai di atas batang pohon besar yang tumbang. Sampai di seberang sungai, Aping harus balik lagi. Dia baru sadar, baju kemeja yang dia belitkan di ransel tertinggal di antara tebing. Batin saya mengumpat. Celaka! ’’Kase tinggal jo’’. Saran saya kepada Aping. Dia harus mengambil kemeja lapangan merk Eiger yang dia pinjam dari kawannya. Saya menunggu. Aping memotong ranting pohon yang cukup panjang untuk meraih kemeja itu. Berhasil.
Hujan mulai mereda seiring mulai jauh meniggalkan lokasi air terjun. Sekitar pukul 17.00 Wita, saya dan Aping sudah sampai di basecamp. Chan dan Boim nampak sedang asyik tiduran di hammcok. Jojo memberikan kami kopi panas. Empat jam perjalanan cukup membuat badan letih meski tidak memikul ransel.
Setengah jam kemudian, menyusul Iwan dan Rivan yang muncul di jalur berbeda karena menyusuri punggungan bukit. Belakangan, kami sempat khawatir keberadaan Panji yang belum juga tiba. Sesekali Papa Budi memantau di sungai ke arah jalur air terjun. Waktu sudah pukul enam sore, bila Panji belum juga muncul, di antara kami harus menyusul dan mencari Panji.
Alhamdulillah, beberapa menit kemudian Panji akhirnya sampai juga. Badannya kuyup. Wajahnya terlihat pucat karena kelelahan memikul ransel. Kekhawatiran kami berganti tawa saat semua sudah berkumpul di tengah basecamp. Chan cukup yakin dengan kemampuan masing-masing di antara kami. Pilihan Chan sangat tepat memilih tim ekspedisi. ’’Dorang ini boleh survive. Kita tau dorang pe kemampuan,’’ ucap Chan di tengah obrolan kami.
Namun sesampainya di basecamp, beberapa hammock yang masih terbentang, basah karena hujan. Hammock milik Panji bak kolam menampung air. Saya sudah mengantisipasi dengan melepas hammock dan menyimpannya di hammock milik Chan yang terbentang di bawah fly sheet. Sementara hammock milik Rivan, Jojo dan Iwan basah sebagian. Beruntung kami membawa sleeping bag yang masih kering.
Sembari mengeringkan—meski tidak benar-benar kering—hammock, Boim menjadi koki di malam terakhir di bukit Kabela. Papa Budi menambah menu udang dan siput dari tepi sungai yang dikumpulnya tadi sore. Panji khusuk menggosok kaki dan badannya dengan minyak GPU. Suasana malam menjadi hangat saat kami saling melingkar-bercengkrama di tengah perapian sambil menyeruput kopi panas di temani kepulan asap dari lintingan tembakau. Malam itu karena sangat lelah, saya tidak merasakan lapar. Minum air jahe panas racikan Jojo sudah cukup mengembalikan stamina.
Obrolan malam mulai menemui titik puncaknya. Satu per satu kami merebah badan di hammock. Obrolan kini berganti suara arus sungai yang setia menemani ‘perjalanan’ kami menembus alam bawah sadar. Di balik hammock, saya mengamati sekitar. Iwan dan Rivan nampak tertidur pulas. Pun dengan kawan-kawan lainnya. Seperti malam pertama, Papa Budi tidur di atas matras berselimut kain berpayungkan daun woka cukup hangat dekat perapian. Hammock tempat saya tidur beratapkan langit. Saya tidak terlalu khawatir jika kemungkinan turun hujan manakala melihat bulan yang bersembunyi di balik awan tipis. Batin saya bersuara, semoga malam ini akan baik-baik saja. (BERSAMBUNG)
Tulisan sebelumnya:
- (Eps: I) XPALA ’’Ekspedisi Selendang Biru’’–sebuah catatan perjalanan di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Desa Bumbung, Bolmong, Indonesia
- (Eps: II) XPALA ’’Ekspedisi Selendang Biru’’— sebuah catatan perjalanan di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Desa Bumbung, Bolmong, Indonesia
- Tanjakan Edan (Eps: III) XPALA Ekspedisi Selendang Biru— sebuah catatan perjalanan di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Desa Bumbung, Bolmong, Indonesia
- Bunyi Seruling di Bukit Kabela (Eps: IV) XPALA ’’Ekspedisi Selendang Biru’’— sebuah catatan perjalanan di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Desa Bumbung, Bolmong, Indonesia