Penganugerahan ‘Pena Emas’ Kepada Olly Dondokambey, Berlebihan

Google+ Pinterest LinkedIn Tumblr +

Entah apa yang melatarbelakangi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)  bakal menganugerahi “Pena Emas” kepada Olly Dondokambey, yang barang tentu jabatan Gubernur Sulawesi Utara melekat pada dirinya. Sebuah penghargaan tertinggi oleh lembaga pers kepada seseorang atau lembaga—yang bukan pers—karena Olly Dondokambey dinilai telah memberikan jasa-jasa luar biasa meliputi pemikiran-pemikiran konsepsional, karya-karya nyata yang memberikan makna hakiki, dampak dan manfaat, khususnya bagi pembangunan dan perkembangan Pers Nasional. (pemberian anugerah tersebut tayang di media online, berikut tauntannya: https://pronews.id/pwi-umumkan-olly-dondokambey-calon-penerima-pena-mas-voucke-lontaan-ucapkan-selamat/)

Perkembangan Pers Nasional yang dimaksud dapat sementara saya simpulkan yakni “memajukan dan menjamin kebebasan pers di Indonesia” atau sekurangnya berlaku di tempat domisili penerima anugerah tersebut berada. Karena sejauh ini pula saya belum atau bahkan tidak pernah melihat atau mambaca artikel yang mengetengahkan terkait peran nyata Olly Dondokambey pada kemajuan dan perkembangan Pers di kancah nasional—guna kejelasannya, saya sertakan tautan syarat pemberian anugerah Pena Emas oleh PWI: https://pwi.or.id/post//tentang-pena-emas#:~:text=Pena%20Emas%20diberikan%20kepada%20seseorang,Emas%20terbuat%20dari%20emas%20murni.

Hampir saya yakin, Olly dapat dipastikan mengalami kaget bahkan syok tidak menyangka dirinya sebagai calon penerima anugerah Pena Emas. Tersebab anugerah “bukan kaleng-kaleng” ini bukan orderan penerima melainkan hasil sumbangsih pemikiran serta amatan secara lengkap dan rinci oleh pengurus cabang atau dapat diusulkan langsung oleh pengurus pusat PWI.

Sebagai salah satu pegiat kejurnalistikan, saya merasa ini menjadi tanggung jawab moral yang terikat dalam Kode Perilaku Jurnalis (AJI) poin pertama, yakni mengedepankan hati nurani.

Sikap keraguan saya atas anugerah Pena Emas tertuju pada Olly Dondokambey cukup beralasan dan mendasar. Pertama dan paling utama adalah kasus tewasnya Riyo Imawan Noor, seorang jurnalis Tribun News, ditabrak di ruas jalan Desa Tompaso Dua, Kecamatan Tompaso Barat, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, pada Sabtu 11 Maret 2023, Pukul 04.30 WITA. Motif dibalik insiden naas ketika Riyo sedang dalam melaksanakan tugas, hingga kini belum terungkap. Pihak kepolisian setempat terkesan lamban dan tidak menseriusi kasus yang telah menyita mata publik, terutama pegiat jurnalis, dan tidak sedikit pula media-media mainstream nasional memberitakan kejadian itu. (berikut berita terkait Riyo Noor: RRI.co.id: ; Tribun News: ; Liputan6.com: ; Antaranews.com: ; Metrotvnews.com: )

Sikap pembiaran, lalai, tidak serius, yang ditunjukkan oleh pihak kepolisian dan pemerintah, telah menanamkan rasa kecemasan dalam tubuh insan pers, khususnya di Sulawesi Utara, dalam melaksanakan kejurnalistikan, kemudian hari dan kapan saja hal yang menimpa Riyo Noor bukan tidak mungkin bisa terulang. Akan halnya Gubernur Olly Dondokambey, jika dia sejak awal memberikan perhatiannya pada proses penyidikan dan penyelidikan kasus Riyo Noor dapat terus diungkap, dengan ringan badan ini berdiri seraya mengangkat topi memberikan rasa hormat padanya—sekaligus penyematan Pena Emas sudah laik baginya, dalam hal seperti ini rasanya tidak berlebihan.

Belum terlambat sekiranya PWI cabang atau pusat dapat menunda atau mempertimbangkan kembali pemberian anugerah Pena Emas terhadap Olly Dondokambey yang, bagaimana pun juga tidak terlepas jabatannya sebagai Gubernur Sulawesi Utara saat ini. Juga kepada penerima lambang itu, Olly Dondokambey, dapat berbesar hati menolak niat baik lembaga itu seraya menyadari masih banyak pekerjaan rumah dalam hal keberlangsungan kebebasan pers dapat tumbuh dan berkembang sehat di Sulawesi Utara.

“Ingat, seorang jurnalis adalah pelantang perwakilan ribuan suara-suara hening yang tidak mendapat ruang bersuara.”

Seiring itu, saya tidak menutup mata, soal kemerdekaan pers di tingkat nasional mengalami pertumbuhan yang cukup jomplang, belum merata antar daerah provinsi. Terdapat rentang nilai yang cukup besar, sekitar 20 poin, antara provinsi dengan nilai terendah dengan yang tertinggi. Merujuk hasil survey Dewan Pers—survei ini dilakukan Dewan Pers terhadap 408 orang dari insan pers di 34 provinsi ditambah dengan 10 narasumber ahli ditingkat nasional. Para informan ahli terdiri dari pengurus aktif organisasi wartawan, pimpinan perusahaan pers, perwakilan pemerintah, dan unsur masyarakat—mengenai Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) di Indonesia menyebutkan, IKP 2023 menurun 6.30 poin dari tahun lalu menjadi 71,75, tetapi nilai ini masih berada pada kategori cukup bebas. Survey IKP 2023 mencatat, Kalimantan Timur dengan nilai tertinggi, 84,38 poin. Kemudian Jawa Barat 83,02 disusul Bali peringkat ketiga dengan bobot nilai 82,58. Sementara Papua duduk di posisi buncit, yakni 64,01. Nah, jika masih menerima saran, hasil survey ini boleh dijadikan rujukan oleh pemberi anugerah Pena Emas. Tabik. [***]

 

Penulis: Faisal Manoppo (Penulis adalah Kolomnis Instink.net)

 

Bagikan berita ini:

Comments are closed.

instink.net