Artikel “Bangun Semangat Baru” adalah rangkuman sikap media Instink.net menyajikan sudut pandang terhadap kepemimpinan pasangan Iskandar Kamaru – Deddy Abdul Hamid mengawali periode keduanya. Sikap utuh keredaksian disuarakan secara melembaga kepada khalayak untuk mendapatkan target yang diharapkan secara, pula, lembaga. Tidak menyebutkan nama penulis (personal) karena rangkuman gagasan ini mewakili keredaksian. Inilah apa yang disebut Editorial.
Muatan “editorial” mencakup penyajian informasi-informasi kepada pembaca dengan tujuan merangsang pemikiran, mencetak opini dan terkadang menggerakkan orang untuk bertindak. Juga, isi editorial menawarkan solusi spesifik untuk suatu masalah yang tengah dirasakan. Penegasan konsep editorial, redaksi mengharapkan tindakan segera daripada pemahaman situasi. Pula, sasaran editorial adalah memprovokasi pikiran pembaca mengenai masalah kepentingan sosial-politik-ekonomi untuk menarik perhatian pembaca dan memungkinkan mereka untuk menilai dan mencari solusinya.
Kegagalan sebuah editorial adalah tidak tercapainya tujuan dimaksud di atas.
Seiring-bersamaan, di sinilah mula tampak kegagalan—sekaligus juga menunjukkan keberhasilan sebuah editorial media instink.net—penulis “versi keberatan”, Herdi Mokodompit, tidak sadar mempertontonkan kebebalannya. Sedari awal saya cukup paham, dampak titik kedangkalan gelap pikirnya menilai tendensius; tidak berimbang lantaran tidak konfirmasi, editorial dengan tajuk “Bangun Semangat Baru” membuatnya juga gelap mata dan mati jiwa.
Oii.. Herdi atawa sesiapa yang juga andil peran di balik semua tulisan recehnya, editorial sejati nyanda mo ambe pusing dengan kepungan luar anggapan kesan tendensius; tidak berimbang; tidak konfirmasi; subjektif; oleh sebab editorial an sich telah melekat ruh segala elemen kejurnalistikan selama “pengembaraan” dalam masa tertentu.
Rentetan artikel saya sebelum ini, pula, lebih dari cukup menggambarkan ketidakmampuan manajerial Kepala BPBD Bolsel. Soal-soal penuh fakta di lapangan yang disodorkan diabaikan si penulis pembela BPBD Bolsel.
Dalam kesempatan ini, publik punya hak untuk mengetahui langkah mundur BPBD Bolsel dalam penanganan bencana. 12 jam pasca air bah menerjang Desa Pakuku Jaya dan Milangodaa Barat, bencana paling parah di Bolsel saat itu, Bupati Iskandar Kamaru bersama sejumlah ASN tiba di lokasi penyintas, tanpa Kepala BPBD Bolsel tidak ketahui. Daanan Mokodompit, mungkin baru dia sadar, sekembalinya Bupati Iskandar Kamaru dan rombongan dari lokasi penyintas. Itu tampak ketika Bupati Iskandar sangat terganggu saat hendak menunggu telepon langsung dari Kepala BNPB, namun nomor telepon seluler Kepala BPBD Bolsel, yang entah berada di mana, selalu tampil menyela di layar ponsel bupati.
Hal lainnya, sehingga ini menjadi alasan saya sangat kritis mengenai adanya “pembiaran” terhadap para relawan yang ikut membantu korban bencana. BPBD Bolsel melepas-tangan para relawan yang bergerak lalu lalang di tengah rawan bencana dengan tanpa di bawah kendali-kontrol badan kebencanaan. Himpunan pemuda Peredam, SAR Hidayatullah, relawan Mahasiswa Pecinta Alam UDK, tidak sama sekali masuk dalam daftar pengendalian BPBD Bolsel. Tim relawan pemuda Peredam, misalnya, mereka tumbuh mandiri meski penuh resiko tinggi. Itu adalah fakta di lapangan. Satu dari sekian kegagalan BPBD Bolsel yakni tidak terkonsolidasinya aktivitas para relawan di tengah bencana. Saya ingin melihat, apa yang akan dikatakan BPBD Bolsel jika sesuatu menimpa pada tim relawan di ruang lingkup bencana yang menjadi perimeter BPBD Bolsel?
Membaca sedikit catatan sarat kemangkelan atas nama bapaknya, Kepala BPBD Bolsel, sebelah telapak tangan saya menempel di wajah seraya menggeleng kepala karena tidak habis pikir masih ada manusia sebabal ini. Lagi-lagi saya menaruh iba serta spontan cengengesan. Toh, sebentar lagi, dengan amat percaya diri, dia akan kembali lagi dengan gaya pusaran kedangkalan dan rapuh konstruksi berpikirnya yang maha paripurna itu. Monoton. So barasa? (Faisal Manoppo)