Oleh: Donald Qomaidiansyah Tungkagi
Direktur The Bolmongraya Institute
Pagelaran teater berjudul “Pingkan Matindas: Cahaya Bidadari Minahasa” menuai polemik sejak dipentaskan di gedung eks-kantor DPRD Sulawesi Utara, serta ditayangkan secara live streaming oleh Kawanua TV Manado, Sabtu 31 Oktober 2020. Pagelaran yang dipentaskan Institut Seni Budaya Independen Manado (ISBIMA) dan disutradarai Achi Breyvi Talanggai (ABT) sontak saja mendapat kecaman masyarakat Bolaang Mongondow Raya (BMR) karena ada beberapa adagen yang dinilai tidak sesuai fakta sejarah.
Adegan dipenggalnya kepala Raja Loloda Mokoagow yang paling dianggap melecehkan harkat leluhur Bolaang Mongondow. Pemenggalan kepala ini terinspirasi karya sastra yang memang sejak dulu bermasalah, ditulis H.M. Taulu berjudul Bintang Minahasa. Pada pendahuluan, H.M. Taulu menyebut karyanya ini sebagai hikayat. Secara definisi hikayat merupakan salah satu bentuk sastra prosa mengenai suatu kisah, cerita dan juga dongeng. Dalam buku dongeng ini, pembunuhan Raja Loloda Mokoagow ditulis pada bab ke sepuluh halaman 89 dengan sub judul “Raja Loloda Mokoagow mati ditikam oleh serdadunya sendiri.” Dipenggalnya kepala Raja Loloda Mokoagow disebutkan pada halaman 100. Sayangnya buku dongeng yang jadi inspirasi teater ini sudah terbit sejak tahun 1978, namun seakan baru sekarang disadari keberadaan dan pengaruhnya.
Meski terbilang telat, beberapa tokoh di BMR sudah merespon melalui berbagai media dengan ikut mengecam adanya dugaan pelecehan terhadap leluhur Bolaang Mongondow dalam teater tersebut. Sebagian juga berencana menempuh jalur hukum, ada ormas di BMR yang konon dalam sebuah rilis berita bakal melaporkan semua yang terlibat. Pertanyaannya, yang mau dilaporkan siapa saja? Sutradara teater dan pelakon, Kawanua TV Manado yang menyiarkan, atau juga si penulis dan penerbit buku hikayat Bintang Minahasa yang jadi inspirasi naskah teater itu?
Meski begitu, saya mengapresiasi segala cara pelampiasan amarah yang diambil semua pihak yang peduli terhadap identitas BMR. Semua telah mengambil bagian untuk ikut membela harkat leluhurnya dengan caranya sendiri, sesuai kemampuan. Saya juga demikian, meski dengan cara sedikit diplomatis. Melalui tulisan dan seruan. Saya menyebutnya membela secara elegan.
Memang tidak ada keharusan kritik terhadap sebuah karya (entah karya fiksi, non fiksi, seni, sastra, dll) dibalas karya juga. Namun mengkritik sebuah karya dengan karya tetap menjadi pilihan yang lebih sepadan dan elegan. Ambil contoh, meski tidak sepadan, Tahafut Al-Falasifah karya Al-Ghazali yang dikritik Ibnu Rusyd melalui karyanya Tahafut At-Tahafut bisa jadi inspirasi betapa karya dibalas karya lebih berdampak luas dan mengabadi.
Mengkritik sebuah karya dengan karya juga tidak selalu harus mengikuti alur cerita sebuah karya yang dikritik. Seperti hal sebuah karya yang menampilkan kebohongan tak berbasis data sembari berlindung dibalik jubah “seni” kemudian dibalas dengan kebohongan yang baru dengan dalil yang sama, tidak tepat juga. Misalnya, ABT dalam karyanya menampilkan adegan “pemenggalan kepala raja Bolaang Mongondow” yang dianggap tertipu rayuan Pingkan, lantas karena marah kemudian masyarakat Bolaang Mongondow membalas dengan karya bohong dan ahistoris juga, apa bedanya?
Marah itu manusiawi. Sudah sepantasnya juga masyarakat BMR marah terhadap karya yang terkesan menginjak martabat leluhur. Makanya tidak seorang pun memperoleh hak melarang mereka meluapkan amarahnya, terutama di media sosial. Namun semoga juga kebebasan menyalurkan amarah ini dibarengi juga dengan menghargai hak mereka yang mengambil jalan berbeda. Lewat seruan moral, misalnya.
Ketika jagad maya Sulawesi Utara dan BMR ramai dengan sumpah serapah, saya justru mengambil jalan yang berbeda. Meski jalannya berbeda, bukan berarti saya ikuti tidak murka. Sebagai anak BMR tulen lahir dari ayah bermarga Tungkagi (Tuang Kagi) dan Ibu Makalunsenge (Makalunsenge merupakan anak Loloda Mokoagow selain Manoppo), saya jelas punya hak juga untuk ikut meluapkan amarah. Sama seperti masyarakat BMR lainnya. Hanya saja kualitas marah dan cara marah kita saja yang berbeda. Tidak berarti cara marah saya lebih baik juga. Biasa saja.
Saya hanya mencari wadah untuk menyalurkan energi marah saya, ketimbang hanya habis di sumpah serapah dan caci maki di medsos. Caranya saya pikirkan salah satunya melalui tulisan sederhana ini, mengajak siapa saja yang sepemikiran untuk bersama-sama menyalurkan amarahnya melalui karya. Ini cara penyaluran yang lebih positif, bermartabat dan elegan.
Menghabiskan energi koar-koar di medsos, juga percuma, tidak banyak manfaatnya. Toh, akhirnya pun bakal reda juga seiring berjalannya waktu. Bukankah itu sia-sia? Selama ini juga, ketika terjadi penghinaan yang dibalas juga dengan penghinaan tidak memberi dampak siginifikan dalam menambah pengetahuan/wawasan sejarah dan kebudayaan di BMR. Yang ada literasi sejarah dan kebudayaan kita justru semakin berkurang dan hilang.
Kalau mau jujur, saya berani mengatakan, tak habis jari digunakan untuk menghitung seberapa banya masyarakat BMR yang benar-benar memahami dan mampu menjelaskan ketokohan Datu Loloda Mokoagow. Masih sedikit yang mampu menerangkan, apa peran Loloda Mokoagow di Sulawesi Utara, serta sejauhmana kekuasaannya?. Saya menduga, jangan-jangan ketidakmampuan menjelaskan ini justru menjadi faktor kuat pemicu kemarahan yang tidak normal. Semoga saja, dugaan saya salah.
Mari kita mengontrol marah dengan berusaha marah sewajarnya saja. Jangan sampai kita terjebak dalam desain provokasi. Momentum politik menjelang Pilkada saat ini, isu seperti ini sangat mungkin bakal dimanfaatkan oleh mereka yang tidak bertanggungjawab demi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Sangat disayangkan jika energi kita hanya dimanfaatkan mereka.
Justru inilah momentum kita memanfaatkan energi kemarahan untuk mendorong lahirnya karya yang mampu menjadi alternatif. Kita bisa menampilkan sejarah yang mengkritisi dengan menampil fakta sejarah yang sebenarnya baik melalui karya ilmiah (buku) dan kesenian juga. Marah seperti ini lebih elegan. Dampaknya di masa depan, siapapun yang membuat karya serupa tanpa data berbasis fakta tak akan terterima dengan sendirinya.
Harus diakui keberadaan Raja Loloda Mokoagow merupakan sejarah yang paling mungkin dimanipulasi. Beberapa tulisan yang ada selama ini coba memisahkan antara Loloda Mokoagow dengan Datoe Binangkang dan Raja Manado. Padahal sejatinya ketiganya sama saja. Ketokohan Datu Loloda Mokoagow bisa ditelusuri dalam arsip kolonial yang menyebutnya sebagai Raja Manado. Disebut demikian karena wilayah kekuasaannya meliputi semenanjung utara sulawesi, mencakup wilayah Manado, Minahasa dan Bitung saat ini. Loloda pernah mendirikan pemerintahan di wilayah Amurang, serta menduduki kawasan pesisir paling strategis yang pelabuhan Kema, Bitung. Kema ini sangat strategis sebagai stepping stone (batu loncatan) jaringan pelayaran rempah-rempah (spice routes) di masa itu.
Kekuasaan Datu Loloda Mokoagow ini justru mampu kita buktikan dengan bantuan arsip-arsip kolonial, laporan-laporan para pelancong, data temuan para peneliti eropa dalam tesis dan disertasi mereka. Tentunya didukung dengan sumber lisan (oral history). Serta yang terpenting, adanya perjanjian antara Belanda-Minahasa yang dikenal sebagai Verbond 10 Januari 1679. Meski ada yang meragukan isinya, atau ada unsur kesengajaan menghilangkan surat perjanjian ini. Namun naskah yang ada sampai saat ini sangat jelas menyebutkan peralihan ketundukan para pemimpin wilayah dari yang dikuasai Loloda Mokoagow saat itu (di luar wilayah BMR saat ini) terhadap kolonial. Perjanjian ini menjadi bukti sebelum kolonial, sebagian besar wilayah semenanjung utara pulau sulawesi berada di bawah kekuasan kerajaan Bolaang, tepatnya Raja Loloda Mokoagow hingga abad ke-17.
Dengan demikian, sudah saatnya kita membela Raja Manado, Loloda Mokoagow dengan cara elegan. Caranya, jangan hanya sebatas mengingatnya jasa dengan memberi nama Rumah Sakit dan Bandara saja. Mari kita tuliskan sejarahnya, jadikan Loloda Mokoagow, Raja Manado, sang Penguasa Semenanjung Utara pulau Sulawesi sebagai pahlawan lokal. Setidaknya setingkat Sultan Baabula sang penguasa 72 pulau dari Kesultanan Ternate dan Sultan Hasanuddin sang Ayam Jantan dari Timur dari Kesultanan Gowa.
Kalapun mau menyalurkan amarah, saya pribadi justru lebih marah kepada para pengambil kebijakan di Bolmong Raya, baik kepala daerah, legislatif, dan instansi terkait yang tidak juga peka menjadikan momentum ini sebagai pijakan untuk memperkuat literasi sejarah dan kebudayaan di Bolmong Raya. Apa harus merasa kalah dan dihina dulu baru memiliki kesadaran? Inggai Kita Motabatu Molintak kon Bolaang Mongondow Raya.