Catatan Kritis Atas Reklamasi Manado

Google+ Pinterest LinkedIn Tumblr +

Gelombang pasang menerjang jalan dan bangunan megah di kawasan pusat belanja pasarsuper Kota Manado, Minggu (17/1/2021). Ribuan kubik batu raksasa yang di pasang tepi pantai tak mampu membendung guliran ombak besar itu. Kompleks belanja bergengsi kebanggaan warga Manado seketika menjadi kolam besar mengerikan. Puluhan perahu milik nelayan dan aneka sampah dari laut terdampar berserakan di kawasan tersebut.

Hujan ekstrem terus mengguyur seharian. Belum reda suasana panik para pengunjung kawasan Manado Town Square, air bah dari beberapa sungai yang dikirim dari pegununangan Tomohon-Tondano dan Minahasa Utara, menggenangi ribuan rumah penduduk Kota Manado. Lokasi terdampak yang paling parah yakni di Kelurahan Komo Luar dan Kampung Tubir di mana permukiman tersebut masuk wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Tondao. Ratusan penduduk yang bermukim di sekitar bantaran sungai ikut mengungsi mencari tempat perlindungan.

Di tempat berbeda, tanah longsor menimbun sejumlah rumah penduduk di Kanaan, Ranotana. Tiga orang dikabarkan meninggal dunia. Hari nahas itu, penduduk Kawanua dihimpit oleh banjir kiriman dari gunung dan air tumpahan dari laut. Laut menolak fungsi kondratnya sebagai muara.

Ini bagian kecil potret kelam yang dialami oleh warga Manado semenjak enam tahun lalu air bah besar juga menerjang Kota Tinutuan ini. Dan masih banyak lagi memori hitam bencana banjir dan longsor menjadi mimpi buruk warga Manado sepanjang dasawarsa silam.

Jauh sebelum rasa tenteram nelayan dan masyarakat Manado terusik, bangun rencana perwujudan pesisir pantai berkonsep Water Front City telah digagas oleh Pemerintah Kota Manado sejak tahun 1990. Mulanya, proyek konsorsium oleh para investor kelas kakap ini mendapat protes kalangan aktivitas lingkungan terutama para nelayan tradisional lokal yang sejak turun temurun mampu bertahan hidup dengan hasil laut. Apalah daya. Pemerintah tentu punya seribu cara demi memuaskan hasrat kekuasaannya. Dengan dalih perizinan yang dimudahkan oleh pemerintah provinsi dan kota Manado, proyek reklamasi tidak mampu dibendung. Nelayan kecil tersingkirkan.

Wacana tindak lanjut pascarelakmasi berhasil menciptakan alam bawah sadar penghuni kota Manado dimanjakan dengan tersedianya sarana dan fasilitas yang didominasi kebutuhan tersier. Tidak dinafikan, iklim investasi tumbuh pesat di sepanjang area reklamasi bekas pantai. Hotel berbintang, restoran dan pertokoan tumbuh subur di atasnya. Apakah itu sudah cukup? Tentu saja tidak. Tahun 2019 lalu, Pemerintah Provinsi dan Kota Manado berencana akan melakukan ekspansi reklamasi di Teluk Manado Utara. Proyek pengembangan penimbunan pesisir pantai ini diproyeksikan akan membangun sebuah “kota baru” di dalam sebuah kota. Melihat situasi terakhir ini, perluasan reklamasi tidak bisa lagi diterima akal sehat. Reklamasi harus dihentikan.

Seberapa besar benefit yang dihasilkan untuk kemashlahatan atas reklamasi yang diagung-agungkan itu? Bencana banjir dan longsor menjadi siklus tahunan tak terelakkan. Nyaris tidak ada upaya pemerintah membenahi dampak yang bakal terjadi atas reklamasi. Alih-alih memperbaiki. Mengurangi batas pantai terus digencarkan. Pertumbuhan penduduk dan perluasan pembangunan tidak ramah lingkungan di kota Manado dan di dataran tinggi Minahasa Utara, Kota Tomohon dan Tondano ikut menimbilkan efek yang berlipat.

Musibah massal ini tidak boleh disebut datang karena faktor cuaca ekstrem belaka melainkan semata ulah ambisi penguasa dan pengusaha. Ketidakberdayaan warga Manado atas dampaknya semestinya geram seraya mengutuk dalang dibalik petaka ini.

Tanpa ada gerakan pembenahan sana-sini karena tingkat dampak dan kerusakan sudah di mana-mana, investor bakal menarik diri untuk mendapatkan kenyamanan berinvestasi adalah keniscayaan. Tidak kalah penting untuk warga Kota Manado adalah hak mendapatkan hidup yang layak, nyaman dan aman adalah di atas segala-galanya wajib mendapat prioritas langkah pemerintah ke depan. (Faisal Manoppo)

Bagikan berita ini:

Comments are closed.

instink.net