Tambang Emas di Bolmong Menambang Petaka

Google+ Pinterest LinkedIn Tumblr +

Liputan khusus oleh jurnalis: Faisal Manoppo

 

’Adoh! Kena kita!’’ (Aduh saya terluka). Tangan kanan Septian Nangune (28) meraba di bagian dada balik baju kausnya. Badannya terasa keram dan melemas. Dia kemudian terduduk karena menahan rasa sakit di dada. Telapak tangan kanannya berlumuran darah. Beberapa warga yang melihat Septian mengalami luka tembak langsung membawanya turun dari lokasi tambang.

Warga Toruakat panik turun dari gunung seiring dengan menderunya suara letusan senjata api dari atas bukit yang menyasar brutal ke arah warga. Lokasi tambang emas di area PT Bulawan Daya Lestari (BDL) di Kawasan Hutan Produksi Terbatas bak menjadi medan perang yang tidak berimbang.

Selain Septiadi yang mengalami luka tembak, satu orang warga Desa Toruakat, Armanto Damopolii (40), harus meregang nyawa karena juga tertembak di bagian kanan dadanya. Peluru yang menyasar ke arah warga diduga berasal dari senjata rakitan.

“Sebenarnya Papa mau pergi ke kantor, tapi Papa balik pulang mengganti pakaian dan ikut bersama orang-orang di kampung untuk pergi ke lokasi tambang (PT BDL),” kisah Tasya Damopolii (17), putri sulung Armanto, saat dijumpai Instink.net di kediamannya, Desa Toruakat, Jumat (15/10/2021). Ayah dari empat orang anak ini menambah jumlah korban jiwa dalam kasus pertambangan emas di Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong).

Meski selamat kini Septian tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya menggarap kebun. Tangan kiri sering keram dan tidak dapat mengangkat beban yang biasa dipikulnya. Sebagai petani, dia harus menghidupi istri dan satu orang anaknya yang masih berusia dua tahun. Sang istri terpaksa harus membantu peran suami dengan berjualan minuman dingin di rumah.

’’Biar di kasih santunan satu miliar karena kita pe anak ini so jadi cacat karena di tembak, kita tidak mau. Sekarang dia tidak kuat lagi bekerja di kebun seperti  dulu,” tutur Sa’diah Hamadi (47), ibu Septian. Sa’diah sangat menyesalkan dengan kejadian itu. Dia meminta keadilan dengan menindak tegas pelaku penembakan terhadap anak sulungnya.

Untuk sementara waktu lokasi tambang itu ditutup. Namun hingga saat ini PT BDL terkesan lepas tanggung jawab atas peristiwa kisruh di lokasi tambang. Selang sepekan setelah kejadian itu, Polda Sulut dan Polres Bolmong hanya menangkap tiga orang diduga pelaku penembakan tanpa kepastian penyelidikan lebih lanjut untuk menyeret serta otak pelaku di balik kekacauan warga Toruakat dengan para pekerja tambang.

Peristiwa ini menambah deretan jumlah angka kematian kasus pertambangan ilegal di daerah yang dijuliki lumbung beras setiap tahunnya. Kasus pertambangan ilegal atau sering disebut PETI (Penambang Tanpa Izin) di Desa Bakan Kecamatan Tanoyan pada Februari 2019 merupakan buku hitam bagi masyarakat di Kabupaten Bolmong. Sekurangnya 16 orang dinyatakan tewas akibat tertimbun longsor dalam lubang tambang yang digali oleh para penambang PETI. Puluhan korban lainnya diperkirakan tidak dapat ditemukan jasadnya (Lihat: ).

Status PT BDL

Surat izin pertambangan perusahaan tambang emas PT BDL dikeluarkan oleh Bupati Bolaang Mongondow Marlina Moha Siahaan tahun 2009 lalu, menjelang akhir masa jabatannya. Di masa itu, kepala daerah masih memiliki kewenangan untuk mengeluarkan izin pertambangan di daerahnya. Namun, empat tahun setelah izin pertambangan diterbitkan, pihak perusahaan tidak melakukan aktivitas pertambangan karena belum mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup. Hingga kemudian PT BDL mulai beroperasi pada 2017 setelah mendapat izin IPPKH, tepatnya awal masa kepemimpinan Bupati Yasti Soepredjo. Secara legalitas hukum, PT BDL beroperasi dengan menggunakan izin yang ditandatangani oleh Marlina Moha Siahaan ketika itu. Artinya, Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT BDL yang masih menggunakan PP Nomor 27 tahun 1999 tentang AMDAL telah dicabut dan tidak berlaku dan sudah diganti dengan PP Nomor 27 tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan yang sekarang sudah diganti dengan PP Nomor 22 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraaan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. (PP Nomor 27 tahun 2012 dapat diakses di link ini: )

Berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2012 Pasal 50 Ayat 2 huruf E tentang Izin Lingkungan menyebutkan, tidak dilaksanakannya rencana usaha atau kegiatan dalam jangka waktu tiga tahun sejak diterbitkannya izin lingkungan, pihak pengelolah tambang wajib memperpanjang kembali Izin Lingkungan. Izin Lingkungan ini akan menyertai dengan dilakukannya Analisis Mengendai Dampak Lingkungan (AMDAL) hingga diterbitkannya Izin Usaha Pertambangan yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM dan gubernur pemerintah provinsi. Diketahui PT BDL adalah perusahaan pertambangan emas yang juga mengelolah hasil tambang wajib memiliki izin yang diterbitkan oleh Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan dan izin gubernur pemerintah provinsi.

Inspektur Tambang Kementerian ESDM yang ditugaskan di Provinsi Sulawesi Utara, Randy Wayong, menjelaskan status PT BDL kini ditutup karena belum memenuhi ketentuan sebagaimana yang diperintahkan oleh Direktur Inspektorat Pertambangan.

“Penghentian sementara kegiatan (PT BDL) sampai mereka telah memenuhi syarat, salah satunya tidak memiliki Kepala Tehnik Tambang (KTT) yang bertanggung jawab terhadap aktivitas perusahaan tambang,” terang Randy saat dihubungi melalui telepon seluler, Selasa siang (19/10/2021).

Ditemui, Senin (11/10/2021), Kepala Bidang Penataan dan Perlindungan Lingkungan Hidup Badan Lingkungan Hidup Pemda Bolmong, Erni Tungkagi, mengatakan PT BDL tidak pernah melaporkan Kegiatan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pemantauan Lingkungan Hidup kepada Badan Lingkungan Hidup Pemerintah Kabupaten Bolmong. Laporan per semester aktivitas perusahaan pertambangan ini seharusnya dikirimkan ke provinsi dengan tembusan ke Badan Lingkungan Hidup Pemda Bolmong.

“Selama ini (PT BDL) tidak pernah melaporkan dokumen itu ke BLH Bolmong,” ucap Erni pertelepon, Selasa (19/10/2021).

Informasi yang diperoleh pasca dilakukannya inspeksi oleh pihak instansi terkait pemerintah daerah di lokasi aeral tambang PT BDL, telah ditemukan sejumlah pelanggaran yakni di antaranya pihak perusahaan belum menyiapkan lahan untuk ditanami vegetasi buidaya; belum dibuat bangunan pencegah longsor dan erosi pada ruas jalan tepi berlereng terjal; belum dibuat sedimen trap penangkapan lumpur dan polishing pound; belum dibuat bak atau kolam pengendapan air dan instalasi pengolahan limbah cair dan tidak ada bak sampah terpilah.

Selain itu juga telah ditemukan sejumlah bangunan dan alat berat berupa tujuh dump truks, 4 excavator, mesin crusher dan 3 mess; 2 kantor; dan 2 gudang satu diantaranya penampung solar; serta sumber air yang digunakan mengambil mata air pegunungan.

Kanaan Terdampak

PT BDL tidak hanya telah melakukan sejumlah pelanggaran peraturan perundang-undangan dan menciptakan kericuhan terhadap masyarakat yang mengakibatkan korban jiwa. Perusahaan tambang emas ini juga telah berkontribusi besar terhadap terjadinya perubahan iklim areal persawahan milik masyarakat di Desa Kanaan, Kecamatan Dumoga, Kabupaten Bolmong. Sekurangnya sekitar 20 hektar lahan persawahan mengalami rusak berat akibat sedimentasi atau terjadinya kiriman material tanah dan kerikil yang bersumber dari hulu di mana lokasi PT BDL beroperasi. Kerusakan sebagai dampak lingkungan yang bersumber aktivitas lokasi tambang emas PT BDL telah mengilangkan mata pencaharian utama yang sejak era 90-an ini telah menghidupi belasan kepala keluarga di desa tersebut. Kini masyarakat petani Desa Kanaan tidak bisa lagi menggarap sawahnya.

Stenly Loing (42) mewakili sejumlah warga terdampak di Desa Kanaan. Lahan sawahnya seluas 2 hektar lebih mengalami rusak berat. Menurut Stenly, persawahan tidak bisa lagi di aliri air karena sistem irigasi mengalami sedimentasi yang mengakibatkan aliran air berjalan tidak terkendali dan meluber ke mana-mana. Terutama di musim hujan.

“Dua tahun lalu ini ada sawahnya, sekarang so jadi jalan kuala,” terang Stenly mendampingi KOMENTAR/Instink.net di lokasi eks sawah seraya menunjuk tanah berbatu yang dialiri air dangkal.

Stenly Liong telah kehilangan garapan lahan sawahnya yang selama ini menjadi sumber mata pencaharian menghidupi keluarganya. Tampak Stenly menunjukkan sebuah kanal air yang sebelumnya adalah bekas tanaman padi. (Foto: Faisal Manoppo)

Stenly Loing telah kehilangan garapan lahan sawahnya yang selama ini menjadi sumber mata pencaharian menghidupi keluarganya. Tampak Stenly menunjukkan sebuah kanal air yang sebelumnya adalah bekas tanaman padi. (Foto: Faisal Manoppo)

Areal  persawahan yang berada di balik bukit sebelah utara desa Kanaan ini sudah tidak bisa digarap lagi sejak dua tahun lalu. Terjadinya kiriman material tanah dan bebatuan dari pegunungan di mana lokasi tambang berada, yang diduga sebagai dampak kerusakan lingkungan aktivitas tambang emas PT BDL, adalah awal mula perusahaan tambang ini beroperasi.

“Sebelumnya memang biasa terjadi banjir namun irigasi tidak mengalami pendangkalan dan air tetap terkendali. Tapi menjadi parah waktu ada tambang di atas (gunung),” ucap pria tiga anak ini.

Bersamaan itu juga areal persawahan sering terganggu ketika pertambangan mulai mengolah. Air irigasi mengalami perubahan warna yang berdampak buruk terhadap pertumbuhan padi.

“Waktu itu tiap sore hari warna air irigasi berubah menjadi coklat pekat. Karena sumber air irigasi dari hulu berada di lokasi tambang emas PT BDL,” ungkapnya lagi.

Upaya untuk melaporkan atas kejadian ini sekian kali telah dilakukan oleh warga Desa Kanaan. Alih-alih mendapatkan bantuan, aspirasi mereka sama sekali tidak pernah direspons oleh pihak perusahaan.

 “Desa Kanaan tidak pernah mendapatkan program bantuan dari perusahaan tambang. Datang berkunjung untuk menjumpai warga di desa saja tidak pernah dilakukan,” ucapnya.

Petani sawah desa transmigran asal Minahasa ini enggan lagi menggarap lahan yang kini menjadi tanah lapang itu. Mereka tidak ingin mengambil risiko kemungkinan terulang potensi banjir yang sempat terjadi tahun lalu. Selama tambang emas tidak lagi beroperasi atau setidaknya dapat terkontrol oleh pemerintah serta sistem irigasi di bangun kembali.

Padahal jauh sebelum aktivitas tambang ini muncul, hasil panen padi telah banyak membantu perekonomian masyarakat. Setidaknya masyarakat tidak lagi membeli beras di luar desa karena ongkos transportasi cukup membebani.

Areal lahan persawahan sudah kini rusak karena terjadinya sedimentasi. Foto Faisal Manoppo

Areal lahan persawahan kini sudah rusak karena terjadinya sedimentasi. (Foto: Faisal Manoppo)

 “Biasanya kami menyimpan beras untuk kebutuhan selama berbulan-bulan. Kalau membeli beras di pasar makan ongkos 20 ribu untuk satu kali pergi. Mending uangnya untuk beli lauk pauk,” tuturnya.

Kepala Seksi Lahan dan Irigasi di Bidang Sarana dan Prasarana Dinas Pertanian Kabupaten Bolmong, Eddy Mokoginta, mengakui areal lahan sawah sekitar 20 hektar di Desa Kanaan sudah tidak bisa lagi ditanami padi. Sistem irigasi yang di bangun swadaya di lokasi eks percetakan sawah program TNI tiga tahun lalu itu mengalami rusak berat dan tidak lagi berjalan sebagaimana mestinya.

“Sudah tidak bisa di tanam lagi karena irigasi mengalami sedimentasi yang sangat parah,” kata Eddy, ditemui di ruang kerjanya, Kamis (14/10/2021).

 Tambang Petaka

Aktivitas tambang emas di Kabupaten Bolmong telah membuat daftar panjang angka kematian jiwa. Hampir setiap tahunnya angka kematian yang mengalami kecelakaan di lokasi tambang terus bertambah. Kelompok penambang yang didominasi tidak berizin ini tidak sedikit yang mengalami kecelakaan hingga tewas secara tragis seperti tertimbun longsor di lubang tambang tanpa adanya perlindungan tenaga kerja.

Angka kematian pekerja tambang ilegal masih samar dan sulit ditemukan datanya secara resmi. Menurut Koordinator Pelaksana Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulawesi Tengah Mohammad Taufik, pemerintah memang tidak pernah merilis data tentang angka kematian di lokasi tambang emas ilegal dan terkesan menutupi agar tidak mengundang perhatian publik.

“Karena ini jelas Pindak pidana yang diatur dalam undang-undang Pertambangan Nomor 3 tahun 2020 tentang pertambangan mineral,” kata Taufik dilansir Benarnews.org terkait pertambangan illegal di Indonesia.

Koordinator JATAM Merah Johansyah mengungkapkan, bahwa kasus penembakan yang terjadi pada warga Toruakat jelas menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dan aparat dalam menyelesaikan seluruh konflik pertambangan yang ada di Indonesia.

“Penembakan terhadap Masyarakat Adat yang mempertahankan wilayah adatnya dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab hari ini telah terjadi. Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi pun telah berakhir pada awal tahun ini, dan kita minta kepada ESDM agar tidak memperpanjang izin usaha kepada perusahaan tersebut”, tegas Merah sebagaimana dilansir Jatam.org.

Dari sisi lingkungan, dampak pertambangan emas juga telah merambah di kawasan hutan yang dilindungi oleh negara. Pihak Taman Nasional Bogani Nani Wartabone pada akhir Februari 2020 lalu, berhasil mengamankan sejumlah pelaku dan sebuah alat berat berupa ekskavator di kawasan TNBNW yang berlokasi di Desa Tanoyan. Penambang ilegal ditemukan telah melakukan aktivitas di Kawasan TNBNW dengan menggunakan ekskavator untuk menggali tanah dan membongkar hutan.

Tampak satu unit alat berat ekskavator yang telah diamankan oleh TNBNW. Barang bukti yang ditemukan di lokasi TNBNW pada Februari 2020 kini terparkir dan di pajang di halaman depan kantor TNBNW, Jalan AKD, Kotamobagu. (Foto: Faisal Manoppo)

Tampak satu unit alat berat ekskavator yang telah diamankan oleh TNBNW. Barang bukti yang ditemukan di lokasi TNBNW pada Februari 2020 kini terparkir dan di pajang di halaman depan kantor TNBNW, Jalan AKD, Kotamobagu. (Foto: Faisal Manoppo)

Kepala Unit 1 Kesatuan Pengelola Hutan Produksi (KPHP) Dinas Kehutanan Provinsi di Kabupaten Bolmong-Bolmut Arfan Makalungsenge SHut, mengatakan penanganan dan pencegahan aktivitas tambang ilegal di kawan hutan produksi tidak dapat diselesaikan hanya satu pihak saja. Sejauh ini pihaknya telah melakukan edukasi kepada masyarakat pekerja tambang agar tidak melakukan penebangan pohon dn menggali tanah di kawasan hutan. Seperti yang terjadi kasus tertimbunnya para pekerja tambang di kawasan Hutan Produksi Terbatas Desa Bakan, akhir Februari 2019 lalu, merupakan faktor terjadinya kerusakan lingkungan karena menambang di kelerengan yang sebenarnya tidak boleh ada aktivitas penebangan hutan dan penggalian tanah.

“Pendekatan terhadap masyarakat sudah berulang kali kami lakukan tapi aktivitas tambang ilegal di kawasan hutan sulit dihentikan dan masih terus ada,” ucap Arfan, Senin (18/10/2021), di kantornya, Kota Kotamobagu.

Lokasi tambang emas tak berizin di Desa Bakan Kabupaten Bolmong. (Sumber: Google Earth)

Lokasi tambang emas tak berizin di kawasan HPT Desa Bakan Kabupaten Bolmong. (Sumber: Google Earth)

Aktivitas tambang tak berizin juga telah memengaruhi para petani untuk meninggalkan lahannya. Kepala Seksi Lahan dan Irigasi di Bidang Sarana dan Prasarana Dinas Pertanian Bolmong Eddy Mokoginta mengungkapkan, adanya aktivitas PETI di bukit Desa Bakan Kecamatan Lolayan telah menyebabkan para petani meninggalkan lahan sawahnya dan beralih menjadi penambang emas. Dia menyebutkan Desa Bakan memiliki potensi lahan sawah yang sangat besar.

“Ada ratusan hektar lebih lahan sawah di Desa Bakan. Desa ini sebenarnya memiliki kontribusi yang cukup besar untuk produksi padi dan beras di Bolmong,” kata Eddy. Hal tidak berbeda, tambahnya, juga terjadi di wilayah Dumoga raya yang cukup dikenal sebagai kawasan lumbung beras. (***)

Bagikan berita ini:

Comments are closed.

instink.net