Represif ala Pemkot Kotamobagu

Google+ Pinterest LinkedIn Tumblr +

Terik siang di rumah kediaman Sainah depan lorong baru kompleks Rumah Sakit Kota Kotamobagu, Rabu (4/1/2023), cukup menyilaukan mata memandang. Angin yang menerobos masuk di antara lorong dan padatnya rumah membuat debu dan pasir bekas sisa pekerjaan pembangunan pagar beton di jalan masuk rumah sakit bertebaran di mana-mana; lantai, meja, kursi, jemuran, jendela, kotor berdebu. Ibu tiga anak dan sembilan cucu ini sesekali batuk saat perjumpaan dengan INSTINK.NET di sela wawancara di teras depan rumahnya.

Agaknya Sainah tidak menghiraukan itu. Hari ini dia memutuskan tidak lagi menjual pisang hasil dari sepetak kebunnya. Sudah berulang kali jualan pisang di teras depan rumah namun tidak ada pembeli. Ini dialaminya mulai bangunan tembok setinggi lebih dari dua meter itu didirikan.

Perbincangan kami terus berlanjut dan intens. Tampaknya, usianya yang tergolong lanjut melewati fase emas ini tidak ikut memadamkan jiwanya. Bicaranya vokal dan kritis.

“Kita tidak takut siapa pun itu orangnya. Torang pe warna darah sama, yang membedakan hanya seragam,” lantangnya. Sorot sayu kerut matanya terlihat masih menyimpan dendam pasca peristiwa lalu.

Sainah Agansi berkali-kali sempat berseteru langsung dengan aparat berseragam loreng. Bersama dengan sejumlah warga lainnya yang ikut terdampak pembangunan sekat tembok jalan masuk rumah sakit, tubuh Sainah memberontak menolak rencana sepihak Pemerintah Kota Kotamobagu.

Dua sekat dinding beton sepanjang sekitar 150 meter yang dibangun paksa di antara jalan masuk rumah sakit milik daerah itu, memisahkan jarak sekaligus menutup jarak pandang depan belasan rumah warga menjadi terbatas. 

Dua tembok beton membentengi dua sisi rumah yang berhadapan dengan jalan masuk RSUD Kotamobagu. (Foto: Faisal Manoppo)

Bangunan ini mendapat aksi protes oleh sejumlah warga Kelurahan Pobundayan, Kotamobagu Selatan. Terutama rumah warga yang berhadapan langsung dengan dinding tersebut. Apa yang dialami Sainah mewakili belasan rumah yang sangat menolak pendirian pagar beton yang tingginya melebihi separuh bangunan rumah warga. Lebih lagi Sainah merupakan penduduk asli yang sudah puluhan tahun bertempat tinggal.

Dia mengisahkan awal mula rumah sakit ini di bangun 13 tahun lalu. Saat itu Kotamobagu belum dimekarkan; masih bagian dari Kabupaten Bolaang Mongondow, di mana bupati pada masa itu Marlina Moha Siahaan.

Warga sangat mendukung pembangunan rumah sakit representatif tersebut menggantikan bangunan tua rumah sakit sebelumnya, RS Datu Binangkang, yang kini berganti wujud menjadi pasar kuliner Kotamobagu.

Pada 2006 lalu, Lurah Pobundayan, Roy Bara, telah bernegosiasi secara persuasif dengan masyarakat, terutama keluarga Sainah, untuk mengalihfungsikan lahan beserta rumah mereka dijadikan jalan masuk rumah sakit.

Pihak pemerintah Bolmong sepertinya tidak melakukan perencanaan awal secara menyeluruh. Akses masuk yang sedianya dibuka arah selatan bangunan rumah sakit, kemudian pindah lokasi di bagian barat, atau tepatnya di mana Sainah dan beberapa keluarganya bermukim.

Negosiasi akhirnya berjalan mulus dengan permintaan warga agar tidak menutup akses jalan tersebut. Penawaran pembebasan lahan mulanya 150 ribu per meter berakhir hanya 50 ribu per meter.

“Kami ikuti keinginan pemerintah karena ini tujuannya baik. Namun ketika pencairan uang pembebasan lahan berlangsung di kantor lurah saat itu, kami menerima hanya Rp 45 ribu per meter,” aku Sainah. Sampai dengan saat ini, mereka tidak pernah mempertanyakan pemotongan itu. Pun sebaliknya, pemerintah tidak pernah menjelaskan hal itu. 

Seiring tahun berlalu hingga pemekaran daerah Kotamobagu menjadi daerah otonom, rencana pembangunan pagar beton sempat diinisiasi kembali oleh Wali Kota pertama, Djelantik Mokodompit. Rencana itu kemudian kandas karena mendapat penolakan warga.

“Torang sudah ada kesepakatan sebelum pembebasan lahan, tidak ada pagar yang menutupi depan rumah, karena sama dengan menutup juga usaha jualan kami di sini,” kata Sainah.

Kanting nasi kuning milik seorang warga di jalan lorong samping pagar RS tampak sunyi. Ini terjadi sejak pagar beton itu didirkan. 

Kendati demikian, tembok pertahanan warga akhirnya runtuh jua. Kali ini, cara yang ditempuh oleh pemerintah Kotamobagu yakni mengerahkan aparat pertahanan negara, Kodim 1303 Bolmong. Dengan dalih program Swakola Karya Bakti TNI yang diputuskan pemerintah, pemerintah kota cerdik membangun benteng pertahanan yang cukup ampuh untuk memuluskan pendirian pagar pintu masuk-keluar RSUD Kotamobagu.

Setelah Program Swakelola Karya Bakti TNI Kodim 1303 Bolmong dengan nomor kontrak: 06/PPK-Kons/RSUD/PAGAR/IX/2022/ tanggal 22 September 2022 diterbitkan, belasan prajurit TNI dikerahkan membangun pagar beton tersebut. Lengkap pula mengenakan seragam loreng, mereka bekerja seharian penuh hingga dini hari. Praktis, hanya butuh beberapa hari saja, pekerjaan tersebut tuntas. Meski telah mendapat penolakan bahkan pertengkaran yang nyaris adu jotos.

Warga sama sekali tidak mendapat perlakuan baik dari pemerintah dengan serta merta melibatkan pihak aparat TNI. Tampak sengaja menciptakan rasa ketakutan terhadap warga yang mencoba menghalangi proyek tersebut. Pun keberadaan DPRD Kotamobagu, warga menilai tidak ada lagi representasi yang dapat dipercayai untuk membela kepentingan rakyat.

“Dorang (wakil rakyat) cuma turun satu kali kemari. Habis itu so nda muncul-muncul ulang,” kata beberapa warga setempat.

Mulai persoalan ini mencuat, Wali Kota Kotamobagu, Tatong Bara, sama sekali tidak pernah hadir di tengah masyarakatnya. Sebagai pemegang dan kendali kekuasaan, wali kota hanya menurunkan bawahannya hingga melibatkan TNI.

Disadari atau tidak, pemerintah Kotamobagu telah menanam bibit antipatik dan skeptis terhadap masyarakatnya. Ini langkah sikap pemerintah yang tidak terbuka dan tidak mendidik masyarakat.

Spanduk protes penolakan pembangunan pagar beton RSUD masih terpajang di depan rumah warga. (Foto: Faisal Manoppo)

Kedepan, ketika timbul kembali program serupa yang harus berhadapan langsung dengan masyarakat, pemerintah bakal menuai badai penolakan dari warga berpotensi terbuka lebar.

“Saya merasa tertipu apa yang telah diperbuat oleh pemerintah saat ini. Jika saya tahu jadinya seperti ini, saya tidak akan melepas tanah dan rumah saya,” ucap Sainah.

Sedangkan, keinginan masyarakat terhadap pemerintah begitu sederhana. Mereka hanya meminta duduk sama-sama dan bermusyawarah dengan baik untuk bersama-sama pula mendapatkan keputusan yang sama-sama diuntungkan, baik oleh pemerintah dan masyarakat. Nyatanya, warga dipukul mundur dengan aturan-aturan yang menurut warga tidak adil dan terbuka lantas mengamankan tuntutan pemerintah dengan cara-cara represif.

“Cukup jo bangun pagar tinggi satu meter atau lebih sedikit yang penting masih dapa lia itu jalan, deng buatkan pintu. Sebelah dalam pagar pemerintab bisa bangun trotoar untuk pejalan kaki yang masuk ke rumah sakit. Cuma itu saja yang torang minta, tapi lain lagi dorang (pemerintah) pe mau,” kata Sainah. (faisal manoppo)

Bagikan berita ini:

Comments are closed.

instink.net