Tahun 1981, warga Desa Tanoyan, Kecamatan Lolayan, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, oleh pengurus Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Bolaang Mongondow kala itu, diajak membuka lahan untuk dijadikan perkebunan warga. Lokasinya sekira 40 menit menggunakan kendaraan roda dua dari perkampungan yang jaraknya sekitar 6 kilometer.
Subari Mokodompit, warga Desa Tanoyan Selatan (saat ini Desa Tanoyan telah dimekarkan menjadi dua desa yakni, Tanoyan Utara dan Tanoyan Selatan), kepada jurnalis menceritakan, waktu itu ia bersama warga dan pengurus KNPI Bolaang Mongondow melakukan pembersihan lahan kurang lebih 100 hektare yang diperuntukan bagi warga Tanoyan untuk berkebun. Kegiatan ini didukung oleh pemerintah daerah yang saat itu masih dipimpin oleh Bupati almarhum Jambat A Dampolii. Bahkan kata Subari, bupati sendiri yang meresmikan lokasi perkebunan tersebut pada tahun 1982. Oleh bupati, perkebunan itu diberi nama Ipotolo, diambil dari bahasa daerah, bahasa Mongondow yang jika diartikan yaitu tempat penyimpanan. Belakangan lokasi ini disebut Potolo.
Tahun berganti tahun, warga memanfaatkan lahan dengan menanam berbagai tanaman seperti cengkih dan kelapa, serta tanaman lainnya. Namun ada yang mengganjal di hati Subari dan warga. Status kepemilikan lahan yang belum jelas menjadi kegelisahan warga dikemudian hari. Dengan alasan tersebut, sekitar tahun 2000an, hal ini diadukan kepada pemerintah desa setempat. Kepada Kepala Desa, Subari dan warga meminta untuk dibuatkan surat keterangan tanah (SKT) dengan nama masing-masing warga pengelola lahan. Hal ini dibenarkan oleh warga Tanoyan Selatan lainnya, Hajiran Mokobombang yang turut pula membuka lahan di Potolo bersama Subari.
Waktu itu, Kepala Desa Tanoyan Selatan, Urip Detu belum bisa memenuhi permintaan warga. Menurut Subari dan Hajiran, Urip beralasan bahwa wilayah Potolo masih masuk dalam kawasan Taman Nasional sehingga tidak mungkin dijadikan hak milik. Patuh akan aturan, warga memaklumi apa yang disampaikan Urip.
Namun masalah muncul. Sekitar tahun 2013, Urip menerbitkan SKT dengan nomor 29/SKT/DTS/VII/2013 atas nama Adrian Kobandaha yang bukan warga Tanoyan Selatan. Warga keberatan dan mempertanyakan hal tersebut kepada Urip. Lagi-lagi Urip berkilah. Menurut warga, alasan Urip menerbitkan SKT agar lahan tersebut tidak diserobot oleh warga desa tetangga.
“Kalau memang alasannya seperti itu, kenapa tidak memakai nama kami saja yang memang telah puluhan tahun memanfaatkan lahan itu. Mengapa harus orang lain yang notabene tidak ada sangkut paut dengan lahan,” kata Subari yang diiyakan Hajiran dan warga lainnya sembari memperlihatkan copy-an SKT kepada jurnalis.
Dari bukti copy-an SKT, warga menduga ada sesuatu yang disembunyikan atas penerbitan SKT. Pasalnya, dari batas-batas yang ada, terdapat nama Urip Detu dan Ismet Olii (Ketua BPD Desa Tanoyan Selatan) tercantum dalam SKT sebagai pemilik tanah. Ismet Olii juga turut pula menandatangani SKT tersebut. Selain nama Urip dan Ismet, terdapat pula nama Masut Lauma dan Jamil Datundugon sebagai pemilik tanah.
“Informasi yang kami tahu, Urip, Ismet dan Masut Lauma juga punya lahan di wilayah itu. Masing-masing 10 hektare. Ada juga nama Jamil Datundugon dan Wahyudi Tonote. Keduanya memiliki lahan masing-masing 5 hektare karena menjadi saksi pada pembuatan SKT,” ungkap Subari.
Kecurigaan warga mulai terungkap. Pada tahun 2017, warga dihebohkan dengan ditemukannya kandungan logam emas dari material batu yang ada di lokasi perkebunan. Kecurigaan warga semakin bertambah. Mereka menduga, jauh sebelumnya aparat desa telah mengetahui bahwa di lokasi Potolo memang memiliki kandungan emas.
Bersambung…
Penulis : Rahmat Putra Kadullah