Wilayah pesisir tidak hanya menjadi daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut, tetapi juga menjadi tempat bertemunya keindahan alam dan sumber kesejahteraan manusia. Sumber kesejahteraan yang diberikan wilayah pesisir adalah suatu kesatuan fungsi ekologis dari ekosistem tersebut. Contohnya, mangrove.
Mangrove berfungsi sebagai tempat hidup dan mencari makan berbagai jenis ikan, kepiting, udang dan tempat ikan-ikan melakukan proses reproduksi, menyuplai bahan makanan bagi organisme yang dibawahnya karena mangrove menghasilkan bahan organik, menjadi pelindung lingkungan dengan melindungi erosi pantai dan mampu meredam/memperlambat gelombang tsunami, mangrove juga sebagai penghasil biomas organik dan menyerap polutan dari aktivitas manusia disekitar daerah mangrove dan tentunya menjadi tempat rekreasi bagi masyarakat.
Fungsi yang sama juga terdapat pada ekosistem terumbu karang dan padang lamun yang menjadi habitat, tempat makan dan reproduksi bagi ikan-ikan disekitarnya. Selain itu juga berfungsi sebagai peredam gelombang laut dan tentunya menjadi tempat destinasi wisata bagi masyarakat.
Keberadaan ketiga ekosistem pesisir tersebut tidak dapat dipungkiri, bahwa selama ini telah memberi penghiduan bagi manusia baik secara langsung maupun tidak. Sebagai sumber kesejateraan yang telah menyumbang kebutuhan pangan manusia dari sektor perikanan serta mampu menjaga stabilitas siklus ekologi di alam agar iklim dan cuaca dapat bersahabat dengan manusia. Akan tetapi, seiring dengan pesatnya pembangunan daerah di wilayah pesisir, tidak dapat dihindari jika ancaman terhadap ekosistem di walayah pesisir sejak dahulu hingga saat ini menjadi perhatian serius dari kalangan pegiat lingkungan. Terlebih saat ini, pemerintah pusat telah mewacanakan penghapusan Amdal dan IMB (izin mendirikan bangunan) dalam proyek pembangunan infrastruktur maupun pendirian bangunan.
Fokus kami para pegiat lingkungan di Bolaang Mongondow saat ini adalah untuk melestarikan wilayah pesisir dan memberi penyadartahuan kepada masyarakat akan pentingnya manfaat ekosistem di pesisir terhadap kelangsungan ekonomi jangka panjang atau seperti investasi masa depan suatu daerah. Khususnya studi kasus di daerah pesisir Teluk Labuan Uki.
Sejak penelitian yang telah kami lakukan yang dipimpin oleh Hariyano Hasantua, SPi, dengan anggota Yusran Boynauw, dan Ikhsan Runtukahu dari tahun 2015-2017, diperoleh luasan mangrove sekitar 125,49 hektar, dikuti dengan 15 (lima belas) spesies/jenis mangrove sejati, yang didominasi oleh jenis Rhizopohora, Avicennia dan Sonneratia. Indeks keanekaragaman jenis mangrove menunjukan kategori baik untuk sebuah ekosistem mangrove. Keberadaan beberapa biota penting seperti ikan kecil, kepiting, kerang-kerangan udang mengindikasikan kualitas lingkungan pada mangrove di Labuan Uki masih terjaga dengan baik. (lihat jurnal ilmiah platax, vol 5(2), Agustus 2017).
Dari penelitian ini juga, kami menemukan beberapa persoalan yang menjadi perhatian, yang mengancam keberadaan mangrove seperti penggunaan kulit pohon mangrove sebagai pewarna jaring oleh beberapa nelayan yang masih belum memahami akan fungsi mangrove yang sebenarnya. Tetapi dengan sosialisasi dan pendampingan dilakukan secara berkala, akhirnya pemahaman masyarakat sudah mulai baik, sehingga kegiatan pengupasan kulit mangrove sudah tidak ada.
Dengan potensi ekosistem mangrove tersebut tidak menutup kemungkinan masih ada berbagai ancaman degradasi mangrove Teluk Labuan Uki kedepannya, maka beberapa gagasan dan konsep yang sedang digodok dan perjuangkan oleh kalangan Akademisi Unsrat, Dr Ridwan Lasabuda, bersama dengan anak bimbingnya, untuk menjaga kelestarian mangrove dan menemukan sulusi alternatif ekonomi masyarakat secara langsung dari mangrove.
Inisiasi Daerah Perlindungan Mangrove Berbasis Masyarakat (DPM-BM) melalui penetapan Peraturan Desa (Perdes) Bersama dai keempat Desa di sekitar Teluk, yakni Desa Sauk, Desa Baturapa II, Desa Baturapa dan Desa Labuan Uki, Inisiatif tersebut kami yakinkan kepada masyarakat, tokoh masyarakat dan Pemerintah Desa dengan melakukan konsultasi publi, FGD, dan konsultasi dengan Pemerintah Kabupaten untuk mendapatkan persetujuan bersama gagasan ini juga menjadi amah Undang-Undang No 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Selain Peraturan Desa Bersama untuk perlindungan mangrove di Teluk Labuan Uki. Gagasan mengenai kawasan ekowisata mangrove di Teluk Labuan Uki juga telah menjadi kajian ilmiah dari Lembaga Penelitian Universitas Sam Ratulangi yang dipimpin oleh Dr Ridwan Lasabuda, Ir Esri Opa, M.Si dan Ir Anneke Lohoo Msi. Bahwa, berdasarkan hasil penelitian menunjukan Mangrove di Teluk Labuan Uki memiliki potensi dengan kriteria yang baik untuk dikembangkan menjadi daerah ekowisata mangrove (lihat jurnal AES Bioflux, 2019, Volume 11 Issue 1).
Kedepan, kami berharap semua cita-cita tersebut dapat terwujud dan menjadi contoh pembangunan ekonomi berkelanjutan yang ramah lingkungan serta berbasis masyarakat. Ini tentu menjadi tugas kami bersama agar semua stakeholder, pemerintah, praktisi lingkungam, LSM, CSR, tokoh masyarakat, dan jurnalis untuk saling membantu mengimplementasikan gagasan besar tersebut, agar ekosistem mangrove di Teluk Labuan Uki, Kabupaten Bolaang Mongondow dapat terjaga dengan baik, berkelanjutan serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa mengeksploitasi secara langsung.
Penulis: M Ikhsan Runtukahu