Tahapan validasi hukum adat oleh Panitia Masyarakat Hukum Adat (MHA) bentukan pemerintah Kota Kotamobagu yang dilakukan pada Juli 2023 lalu dinilai tidak partisipatif. Seyogyanya, panitia wajib melibatkan seluruh pihak pelaku tokoh adat Mongondow baik di Kotamobagu dan Bolaang Mongondow.
Salah satu Tokoh Adat Mongondow di Kelurahan Motoboi Besar, Hasman Bahansubuh, mengungkapkan proses identifikasi,verifikasi hingga validasi MHA, yang berkaitan dengan hukum adat serta istiadat suku Mongondow di Kotamobagu, dilakukan pemerintah Kotamobagu secara sepihak. Sehingga, validasi akhir dalam penilaian keberadaan suku Mongondow tidak lagi mengandung unsur yang terpenuhi secara menyeluruh dan mendalam.
“Banyak ketidaktahuan (adat istiadat) oleh pihak panitia yang melakukan proses validasi hukum
adat ini. Formulir pengisian quisioner dari pihak panitia MHA yang mulanya diberikan kepada tokoh adat, entah kenapa, tapi kemudian (oleh pemerintah kelurahan) ditarik kembali. Belakangan baru tahu proses validasi sudah selesai,” ungkap Hasman dihubungi pertelepon, Selasa (10/1/2024) siang.
Ia menambahkan, dihilangkannya langlah partisipatif ini, panitia MHA tidak bisa begitu saja langsung menilai ketiadaan masyarakat hukum adat suku Mongondow yang ada di Kotamobagu. “Hukum adat dan istiadat Mongondow jika diidentifikasi dengan seksama dan melibatkan para tokoh adat, diketahui jelas dan pasti masih ada dan berlaku di tengah masyarakat di Kotamobagu,” terang Hasman.
Di bagian lain, Ketua Badan Perda DPRD Kota Kotamobagu, Beggy Gobel menilai, dalam pembentukan lembaga adat di Kotamobagu, pihaknya telah menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2021 tentang Lembaga Adat. Menurutnya, payung hukum ini menjadi pijakan
bagi pemerintah dalam proses pembentukan lembaga adat dengan melibatkan tokoh-tokoh adat setempat.
“Perda hasil inisiatif DPRD ini akan sangat membantu secara legalitas, baik secara perundang-undangan dan Permendagri No.52 Thn 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan MHA, mengatur dalam pembentukan lembaga adat, termasuk tentang proses validasi hukum adat,” kata Beggy, ditemui dikediamannya di Kelurahan Kobo Kecil, Rabu pekan lalu.
Kepada pemerintah dia mengingatkan, jika tahapan identifikasi, verifikasi dan validasi terkait MHA ini tidak dilakukan sesuai peraturan yang berlaku, berpotensi menimbulkan kemarahan masyarakat, terutama para tokoh adat.
“Dalam dekat ini mami berencana akan menggelar rapat dengar pendapat guna menyelesaiakan persoalan ini, agar tidak terjadi
perselisihan antara pemerintah yang memfasilitasi pembentukan lembaga adat dengan para tokoh adat,” ungkap Beggy.
Sementara itu, Kepala Bidang Pemerintahan dan Desa Dinas Pemberdayan Masyarakat Desa Kotamobagu, Wiwi Sabunge, menjelaskan, panitia MHA Pemerintah Kotamobagu telah melakukan identifikasi hingga validasi hukum adat ditingkat kelurahan dan desa di Kotamobagu.
“Ini baru tahap validasi awal oleh panitia MHA. Dan besok (hari ini, red) panitia MHA akan menggelar rapat pertemuan dengan mengundang tokoh adat guna membahas hasil validasi tersebut,” terang Wiwi, ditemui kemarin di ruang kerjanya.
Perlu diketahui, dalam Permendagri Noomor 52/2014 pada Pasal 5 poin 1 menyebutkan, Bupati/Walikota melalui Camat atau sebutan lain melakukan identifikasi sebagaimana dimaksud pasal 4 huruf a dengan melibatkan masyarakat hukum adat atau kelompok masyarakat. (faisal manoppo)