Belasan kendaraan mobil menderu melintasi pegunungan Tonsile, pagi itu. Rombongan mulai bertolak dari Hotel Sutan Raja Kotamobagu menuju Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel) melewati jalur selatan yang cukup asri dan sejuk. Kabut masih menyelimuti hutan belantara setiba di perbatasan masuk Kabupaten Bolsel. Sejenak, konvoi berhenti lalu berswafoto menikmati suasana dan pemandangan alam.
Ini bukan iringan dari orang-orang sedang piknik berseragam birokrat. Mereka membawa misi dengan tujuan mulia: menjaga dan merawat lingkungan serta isi yang menyertainya; memelihara Tanjung Binerean yang merupakan kawasan habitat satwa endemik burung Maleo adalah misi utama perjalanan ini.
Sesampai di ujung aspal dekat pantai seberang Desa Deaga, tim sekitar hampir 30-an orang ini berpindah pengangkutan ke sebuah perahu besar lalu melanjutkan perjalanan melewati pesisir. Untuk sampai ke Tanjung Binerean akan lebih dekat dan praktis menggunakan perahu. Masih tertutupnya akses darat ke Tanjung Binerean bukan tanpa alasan melainkan membatasi kedatangan manusia yang berpotensi mengganggu habitat burung Maleo.
Setengah jam perjalanan mengarah sisi barat, tiga perahu yang memuat tim ini akhirnya tambat di sebuah pantai berpasir putih. Seorang pegiat di WCS mengarahkan perahu menambat sedikit agak jauh dari populasi sebaran Maleo agar tidak terganggu karena bunyi deru mesin perahu dan kumpulan manusia.
Rombongan disambut Hanafi Baso (47), penjaga Tanjung Binerean, lalu memandu ke lokasi bangunan resort yang didirikan oleh WCS dua tahun lalu. Rerimbunan pohon membuat suasana rumah kayu bertingkat ini sangat asri dan sejuk. Bangunan ini digunakan untuk keperluan penelitian dan juga peristirahatan sejenak bagi para pengunjung Tanjung Binerean.
Hanafi sudah berkecimpung di Tanjung Binerean sejak 13 tahun lalu. Dibawah binaan WCS, pria dua anak ini bertugas memindahkan telur Maleo agar tidak dimangsa predator serta menjaga kebersihan pantai dan gangguan hewan atau manusia di kawasan Tanjung Binerean.
Di tengah populasi Maleo kawasan Tanjung Binerean, terdapat sebuah sangkar berukuran 2 x 3 yang digunakan untuk menjaga (melindungi) pertumbuhan burung Maleo mulai dari penetasan sampai usia yang cukup sebelum akhirnya dilepas-liarkan. Juga ada bivak—yang disamarkan—tidak jauh dari penangkaran guna pengawasan dan penelitian burung Maleo.
Sebelum acara bermuatan sarat kajian lingkungan dan satwa ini ditutup, Wakil Bupati Bolsel Deddy Abdul Hamid masih berkesempatan melepas-liarkan seekor burung Maleo yang disaksikan Kepala BKSDA Sulut Askhari Daeng Masiki, Program Maneger WCS Sulawesi Iwan Hunowu, KPH Wilayah II Bolsel-Boltim dan pihak TNBNW. Juga Asisten Bidang Pemerintahan dan Kesra Alsyafri Kadullah, Asisten Bidang Ekonomi Pembangunan Muh. Suja Alamri, Kepala Dinas Kominfo Adly Setiawan Gobel, Kepala Bagian Hukum Kadek, Wijayanto, sejumlah pejabat Pemda Bosel dan kepala desa.
Konsep KEE dan NKT Denyut Wisata di Bolsel
Pengelolaan Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) dan Perlindungan Areal Nilai Konservasi Tinggi (NKT) di Pinolosian Tengah tepatnya di Tanjung Binarean adalah tajuk utama gerakan penyelamatan lingkungan oleh sejumlah antar lembaga di Kabupaten Bolsel. Tanjung Binarean merupakan kawasan habitat satwa endemik burung Maleo di luar kawasan yang dilindungi oleh negara.
WCS (sebagai penggagas konsep KEE dan NKT), BKSDA, KPHP, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dan Pemerintah Daerah Kabupaten Bolsel merupakan perpaduan antar lembaga yang unik sekaligus menarik jika melihat konsep kebijakan arah perkembangan pembangunan di Indonesia dewasa ini; masih banyak daerah mengabaikan faktor kesimbangunan lingkungan dan satwa sebagai strategi kebijakan pembangunan.
Pemda Bolsel tidak sendiri dalam upaya menciptakan pembangunan berkelanjutan yang berazaskan lingkungan di wilayahnya. Pemerintah Bolsel melibatkan sejumlah lembaga yang bergerak di bidang perlindungan satwa dan konservasi serta peneliti lingkungan.
Ini diawali dengan dilakukannya pengkajian konsep KEE dan NKT antar oraganisasi tersebut selama dua hari di Hotel Sutan Raja Kotamobagu. Mereka membahas secara mendalam dan seksama memetakan sebuah masalah lingkungan di kawasan tersebut lalu menawarkan gagasan-gagasan dalam upaya penanganannya. Boleh dibilang konsep afiliasi terkait lingkungan dan satwa lintas lembaga di Bolsel ini baru pertama kali ditorehkan oleh pemerintah daerah di Provinsi Sulut dan BMR khususnya.
Lima desa yang meliputi sekitar Tanjung Binerean yakni Desa Adow, Mataindo Utara, Mataindo, Torosak masuk dalam koridor KEE dan membagi NKT I, II dan III di wilayah Kabupaten Bolsel.
Merujuk sejumlah sumber, KEE merupakan benteng terakhir ‘kawasan’ konservasi yang membuka harapan baru bagi perlindungan hutan yang tersisa di luar kawasan konservasi (yang dilindungi negara). Sedangkan NKT adalah sebuah pendekatan untuk mengkaji nilai keanekaragaman hayati (NKT I), ekosistem tingkat lasnkap (NKT II), ekosistem/habitat langka dan terancam (NKT III), jasa lingkungan penting (NKT IV) dan kebutuhan masyarakat tempatan (NKT V).
Pemda Bolsel juga satu-satunya daerah di Provinsi Sulut yang telah melahirkan NKT dan diperkuat dengan Perda Nomor 2 Tahun 2021 tentang penataan kawasan pengungsian Satwa. Dokumen NKT ini dijadikan Pemda Bolsel sebagai dasar informasi perencanaan pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Kepedulian Pemda Bolsel terhadap konservasi telah mendapat apresiasi dan peghargaan tinggi oleh Country Director WCS Dr Noviar Andayani dan BKSD Sulut serta Dinas Kehutanan Provinsi Sulut melalui KPHP II Bolsel-Boltim pada Juni 2021.
Tidak dapat dipungkiri lagi, atas kepedulian dan keseriusannya, bahwa Kabupaten Bolsel patut dan layak menjadi pintu gerbang wisata bahari yang bersendikan konservasi tinggi di Provinsi Sulut. Dan semestinya Dinas Pariwisata Provinsi Sulut dapat mendorong ini menjadi ‘daya jual tinggi’ Kabupaten Bolsel untuk tampil di kancah kepariwisataan tingkat nasional.
Mitigasi Sejak Dini
Nyaris hampir seluruh daerah di Provinsi Sulawesi Utara, khusus yang berada di kawasan pesisir lebih mendahulukan potensi wisata bahari an sich tanpa memperhatikan bagaimana upaya pelestarian demi kesinambungan ekosistemnya. Namun Kabupaten Bolsel hadir menjadi satu-satunya daerah di Provinsi Sulawesi Utara yang konsern dan konsisten mengutamakan wisata bahari berbasis kelestarian lingkungan dan konservasi.
Bolsel sepertinya telah banyak belajar dan berkaca pada apa yang telah terjadi kini di pulau Bunaken. Ini cukup terbukti dengan kondisi lingkungan dan ekosistemnya yang terjadi di Taman Nasional Pulau Bunaken. Penimbunan pesisir untuk perluasan daratan di Kota Manado dan tidak terkendalinya wisatawan membuat terumbu karang di Pulau Bunaken mengalami kerusakan. Tidak terkecuali limbah sampah.
Saking seriusnya terhadap isu lingkungan dan keberadaan satwa yang dilindungi, Pemda Bolsel bersama WCS, TNBNW, KPHP Wilayah II, BKSDA, juga melibatkan para camat dan kepala desa melaksanakan lokakarya mengenai hasil kajian sedimentasi dan upaya mitigasi yang, dilaksanakan BPBD Bolsel serta mendapat dukungan penuh oleh WCS, berlangsung selama dua hari (14-15) Maret 2022, di Hotel Sutan Raja Kotamobagu.
Menyadari Kabupaten Bolsel cukup rentan terhadap terjadinya bencana banjir dan longsor, riset dan kajian pemodelan sedimentasi menggunakan pendekatan ridge to reef atau dari bukit ke terumbu karang ini, dipresentasikan oleh Koordinator Unit Program Bukti Konservasi WCS Indonesia Saddam Hussein. Pendekatan ridge to reef ini bermanfaat untuk melihat sebuah fenomena yang terkait secara menyeluruh, mulai dari puncak gunung hingga ke laut.
Hasil lokakarya setelah melalui kajian dan diskusi mendalam oleh para peserta ini, kemudian melahirkan sejumlah rekomendasi yang akan ditindaklanjuti oleh BPDB Bolsel, BKSDA Sulut, WCS, KPHP, dan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, dalam upaya mitigasi sejak dini terkait bencana dan pembangunan berkelanjutan ke depan. (Faisal Manoppo)