SUATU malam di bulan Oktober 2012. Acara diskusi dalam rangkaian kegiatan Festival Media (Fesmed) Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia baru saja selesai untuk sesi hari itu.
Seorang pria berkulit agak gelap, berkumis tebal datang menghampiri kami. Dia sangat ramah. Hampir semua anggota AJI yang datang dari berbagai kota memberi hormat kepada laki-laki berperawakan tinggi itu. Dari beberapa kawan, kami akhirnya tahu bahwa dia adalah Ahmad Taufik.
Malam itu Ahmad Taufik mengantar kami berkeliling kota Bandung dengan mobil warnay putihnya. Tak ada jarak di antara kami, seolah sudah saling kenal sekian lama. “Kalau ke Bandung, jangan lupa cicipi ronde. Ini minuman penghangat tubuh,” ujar Ahmad Taufik mengakhiri petualangan kami di malam itu.
Ahmad Taufik memang begitu melegenda di dunia pers Indonesia. Bahkan saat dia berpulang menghadap Yang Kuasa, Kamis 23 Maret 2017, kabut duka melingkupi kalangan jurnalis.
Tak heran memang, karena pria yang akrab disapa Ate ini memang punya jasa besar bagi dunia jurnalisme di Indonesia. Bersama 100 jurnalis, kolumnis, dan aktivis, dia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, 24 tahun silam.
AJI lahir sebagai perlawanan komunitas pers Indonesia terhadap kesewenang-wenangan rejim Orde Baru. Mulanya adalah pembredelan Detik, Editor dan Tempo, 21 Juni 1994. Ketiganya dibredel karena pemberitaannya yang tergolong kritis kepada penguasa.
Tindakan represif inilah yang memicu aksi solidaritas sekaligus perlawanan dari banyak kalangan secara merata di sejumlah kota.
Setelah itu, gerakan perlawanan terus mengkristal. Akhirnya, sekitar 100 orang yang terdiri dari jurnalis dan kolumnis berkumpul di Sirnagalih, Bogor, 7 Agustus 1994.
Pada hari itulah mereka menandatangani Deklarasi Sirnagalih.
Sejumlah nama yang ikut menandatangani deklarasi itu antara lain, Goenawan Mohammad, Andreas Harsono, Satrio Arismunandar, Bambang Harimurty, Aristides Katopo, Eros Jarot, dan Ayu Utami.
Inti deklarasi ini adalah menuntut dipenuhinya hak publik atas informasi, menentang pengekangan pers, menolak wadah tunggal untuk jurnalis, serta mengumumkan berdirinya AJI.
Pada masa Orde Baru, AJI masuk dalam daftar organisasi terlarang. Karena itu, operasi organisasi ini di bawah tanah. Roda organisasi dijalankan oleh dua puluhan jurnalis-aktivis. Untuk menghindari tekanan aparat keamanan, sistem manajemen dan pengorganisasian diselenggarakan secara tertutup.
Sistem kerja organisasi semacam itu memang sangat efektif untuk menjalankan misi organisasi, apalagi pada saat itu AJI hanya memiliki anggota kurang dari 200 jurnalis.
Selain demonstrasi dan mengecam tindakan represif terhadap media, organisasi yang dibidani oleh individu dan aktivis Forum Wartawan Independen (FOWI) Bandung, Forum Diskusi Wartawan Yogyakarta (FDWY), Surabaya Press Club (SPC) dan Solidaritas Jurnalis Independen (SJI) Jakarta ini juga menerbitkan majalah alternatif Independen, yang kemudian menjadi Suara Independen.
Gerakan bawah tanah ini menuntut biaya mahal. Tiga anggota AJI, yaitu Ahmad Taufik, Eko Maryadi dan Danang Kukuh Wardoyo dijebloskan ke penjara, Maret 1995. Taufik dan Eko masuk bui masing-masing selama 3 tahun, Danang 20 bulan. Menyusul kemudian Andi Syahputra, mitra penerbit AJI, yang masuk penjara selama 18 bulan sejak Oktober 1996.
Selain itu, para aktivis AJI yang bekerja di media dibatasi ruang geraknya. Pejabat Departemen Penerangan dan Persatuan Wartawan Indonesia juga tidak segan-segan menekan para pemimpin redaksi agar tidak memperkerjakan mereka di medianya.
Konsistensi dalam memperjuangkan misi inilah yang menempatkan AJI berada dalam barisan kelompok yang mendorong demokratisasi dan menentang otoritarianisme. Inilah yang membuahkan pengakuan dari elemen gerakan pro demokrasi di Indonesia, sehingga AJI dikenal sebagai pembela kebebasan pers dan berekspresi.
Pengakuan tak hanya datang dari dalam negeri, tetapi juga dari manca negara. Diantaranya dari International Federation of Journalist (IFJ), Article XIX dan International Freedom Expression Exchange (IFEX).
Ketiga organisasi internasional tersebut kemudian menjadi mitra kerja AJI. Selain itu banyak organisasi-organisasi asing, khususnya NGO internasional, yang mendukung aktivitas AJI. Termasuk badan-badan PBB yang berkantor di Indonesia.
AJI diterima secara resmi menjadi anggota IFJ, organisasi jurnalis terbesar dan paling berpengaruh di dunia, yang bermarkas di Brussels, Belgia, pada 18 Oktober 1995.
Aktivis lembaga ini juga mendapat beberapa penghargaan dari dunia internasional. Di antaranya dari Committee to Protect Journalist (CPJ), The Freedom Forum (AS), International Press Institute (IPI-Wina) dan The Global Network of Editors and Media Executive (Zurich).
Setelah Soeharto jatuh, pers mulai menikmati kebebasan. Jumlah penerbitan meningkat. Setelah reformasi, tercatat ada 1.398 penerbitan baru. Namun, hingga tahun 2000, hanya 487 penerbitan saja yang terbit. Penutupan media ini meninggalkan masalah perburuhan. AJI melakukan advokasi dan pembelaan atas beberapa pekerja pers yang banyak di-PHK saat itu.
Selain bergugurannya media, fenomena yang masih cukup menonjol adalah kasus kekerasan terhadap jurnalis.
Berdasarkan catatan AJI, setelah reformasi, kekerasan memang cenderung meningkat. Tahun 1998, kekerasan terhadap jurnalis tercatat sebanyak 42 kasus.
Setahun kemudian, 1999, menjadi 74 kasus dan 115 di tahun 2000. Setelah itu, kuantitasnya cenderung menurun: sebanyak 95 kasus (2001), 70 kasus (2002) dan 59 kasus (2003).
Kasus yang tergolong menonjol pada tahun 2003 adalah penyanderaan terhadap wartawan senior RCTI Ersa Siregar dan juru kamera RCTI, Ferry Santoro. AJI terlibat aktif dalam usaha pembebasan keduanya, sampai akhirnya Fery berhasil dibebaskan.
Namun, Ersa Siregar meninggal dalam kontak senjata antara TNI dan penyanderanya, Gerakan Aceh Merdeka.
Pada saat yang sama, juga mulai marak fenomena gugatan terhadap media. Beberapa media yang digugat ke pengadilan — pidana maupun perdata– adalah Harian Rakyat Merdeka, Kompas, Koran Tempo, Majalah Tempo dan Majalah Trust. Atas kasus-kasus tersebut, AJI turut memberikan advokasi.
Selain itu, AJI juga membuat program Maluku Media Center. Selain sebagai safety office bagi jurnalis di daerah bergolak tersebut, program itu juga untuk kampanye penerapan jurnalisme damai. Sebab, berdasarkan sejumlah pengamat dan analis, peran media cukup menonjol dalam konflik bernuansa agama tersebut. Hingga kini, program tersebut masih berjalan.
AJI tak bisa lagi sekadar mengandalkan idealisme dan semangat para aktivisnya untuk menjalankan visi dan misi organisasi
Setelah rejim Orde Baru tumbang oleh “Revolusi Mei 1998”, kini Indonesia mulai memasuki era keterbukaan.
Rakyat Indonesia, termasuk jurnalis, juga mulai menikmati kebebasan berbicara, berkumpul dan berorganisasi. Departemen Penerangan, yang dulu dikenal sebagai lembaga pengontrol media, dibubarkan.
Undang-Undang Pers pun diperbaiki sehingga menghapus ketentuan-ketentuan yang menghalangi kebebasan pers.
AJI, yang dulu menjadi organisasi terlarang, kini mendapat keleluasaan bergerak. Jurnalis yang tadinya enggan berhubungan dengan AJI, atau hanya bisa bersimpati, mulai berani bergabung.
Jumlah anggotanya pun bertambah. Perkembangan jumlah anggota akibat perubahan sistem politik ini, tentu saja, juga mengubah pola kerja organisasi AJI.
Kini, AJI tak bisa lagi sekedar mengandalkan idealisme dan semangat para aktivisnya untuk menjalankan visi dan misi organisasi. Pada akhirnya, organisasi ini mulai digarap secara profesional. Bukan hanya karena jumlah anggotanya yang semakin banyak, namun tantangan dan masalah yang dihadapi semakin berat dan kompleks.
Sejak berdirinya, AJI mempunyai komitmen untuk memperjuangkan hak-hak publik atas informasi dan kebebasan pers. Untuk yang pertama, AJI memposisikan dirinya sebagai bagian dari publik yang berjuang mendapatkan segala macam informasi yang menyangkut kepentingan publik.
Mengenai fungsi sebagai organisasi pers dan jurnalis, AJI juga gigih memperjuangkan dan mempertahankan kebebasan pers. Muara dari dua komitmen ini adalah terpenuhinya kebutuhan publik akan informasi yang obyektif.
Untuk menjaga kebebasan pers, AJI berupaya menciptakan iklim pers yang sehat. Suatu keadaan yang ditandai dengan sikap jurnalis yang profesional, patuh kepada etika dan –jangan lupa– mendapatkan kesejahteraan yang layak. Ketiga soal ini saling terkait.
Profesionalisme –plus kepatuhan pada etika– tidak mungkin bisa berkembang tanpa diimbangi oleh kesejahteraan yang memadai. Menurut AJI, kesejahteraan jurnalis yang memadai ikut mempengaruhi jurnalis untuk bekerja profesional, patuh pada etika dan bersikap independen.
Program kerja yang dijalankan AJI untuk membangun komitmen tersebut, antara lain dengan sosialisasi nilai-nilai ideal jurnalisme dan penyadaran atas hak-hak ekonomi pekerja pers.
Sosialisasi dilakukan antara lain dengan pelatihan jurnalistik, diskusi, seminar serta penerbitan hasil-hasil pengkajian dan penelitian soal pers.
Sedang program pembelaan terhadap hak-hak pekerja pers, antara lain dilakukan lewat advokasi, bantuan hukum dan bantuan kemanusiaan untuk mereka yang mengalami represi, baik oleh perusahaan pers, institusi negara, maupun oleh kelompok-kelompok masyarakat.
Kekuasaan tertinggi AJI ada di tangan Kongres yang digelar setiap tiga tahun sekali. AJI dijalankan oleh pengurus harian dibantu Koordinator Wilayah dan Biro-biro khusus.
Dalam menjalankan kepengurusan organisasi, Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal AJI dibantu oleh beberapa koordinator divisi beserta anggotanya, yang didukung pula oleh manajer kantor serta staf pendukung.
Untuk mengontrol penggunaan dana organisasi dibentuklah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang anggotanya dipilih oleh Kongres.
Majelis Kode Etik juga dipilih melalui Kongres. Tugas lembaga ini adalah memberi saran dan rekomendasi kepada pengurus harian atas masalah-masalah pelanggaran kode etik organisasi yang dilakukan oleh pengurus maupun anggota.
Kepengurusan sehari-hari AJI Kota dilakukan oleh Pengurus Harian AJI Kota, yang terdiri atas Ketua, Sekretaris, Bendahara dan beberapa koordinator divisi. Mereka dipilih lewat Konferensi AJI Kota yang dilangsungkan setiap dua tahun sekali.
24 tahun lalu AJI masih menjadi sebuah organisasi terlarang, tentu berbeda dengan kondisi saat ini sebagai organisasi yang profesional dalam pengelolaan program dan manajemennya.
Memiliki kantor sendiri dengan lembaga donor jejaring hingga di luar negeri, menjadi salah satu contoh. Apalagi hingga kini AJI konsisten untuk tidak menerima dana APBD/APBN.
BERDIRINYA AJI KOTA MANADO
Sejak itu berdirinya AJI di Jakarta, organisasi ini mulai meluaskan tata organisasi dan gerakannya ke seluruh Indonesia.
Demikian pula, para aktivis gerakan mahasiswa dan para jurnalis yang tidak berada di dalam jalur penerbitan media atau koran-koran lokal.
Lembaga Swadaya Masyarakat(LSM) yang berada di daerah seperti LBH, WALHI, SMID, PRD. Dan kelak juga AJI mulai melakukan konsolidasi keorganisasian untuk melakukan perlawanan terhadap penindasan dan sikap otoriter rezim Orde Baru. Buah dari gerakan itu memuncak pada gerakan penumbangan rezim Orde Baru pada Mei 1998.
Kantor LBHI Manado yang berada di kawasan Wanea-Rike menjadi tempat tumpuan para aktivis LSM, mahasiswa dan juga jurnalis. Mereka yang aktif di majalah Tempo dan Forum sejak dibreidel menganggur dan berupaya menerbitkan Koran lokal.
Atas inisiatif Verianto Majowa(koresponden Tempo interaktif), Mustopa (Forum Keadilan), Katamsi Ginano (Republika) dan Reiner Ointoe (eks wartawan Manado Post) ingin mendirikan koran satu lembar (KOBAR) dan kelak berubah menjadi Koran mingguan KABAR setelah memperoleh dukungan dari Ketua LSM Yayasan Nurani dr. Bert A. Supit.
Dengan diformalkan sebagai koran mingguan KABAR pada akhir 1998, ikut bergabung Pitres Sombowadile dan Suwiryo Ismail. Dengan Koran mingguan ini, kelak pendirian AJI kota Manado banyak didominasi oleh rekan-rekan jurnalis yang bergelut di situ.
Dengan mandat yang diberikan oleh AJI di Jakarta dengan Ketua Lukas Luwarso(Forum Keadilan) dan Sekjen Didik Supriyanto(Detik) kepada Mustopa(koresponden Forum Keadilan) diadakan konferensi AJI Manado pertama pada Oktober 1998.
Kongres yang dilaksanakan di MBH Minahasa sekaligus melantik kepengurusan AJI Manado periode 1998-2000 oleh Ketua AJI Lukas Luwarso.
Struktur AJI Kota Manado diketuai Reiner Ointoe, sekretaris Mustopa dengan anggota Verianto Majowa, Katamsi Ginano, Puja Sutamat, Vonny Suoth, Raymond Pasla, Patria Pombengi.
Selang enam bulan jalannya organisasi AJI Manado, sekretaris Mustopa dan beberapa kawan-kawan melakukan mosi tidak percaya ketua AJI kota Manado. Hingga pada awal 1999, AJI Kota Manado ‘’dibekukan’’ oleh SK AJI yang ditanda tangani oleh Lukas Luwarso dan Sekjen Didik Supriyanto.
Pada Kongres AJI kedua di Jakarta pada akhir 1999, Ketua Majelis Kode Etik Satria Arismundar(mantan jurnalis Kompas) meminta Ketua AJI Kota Manado(Reiner Ointoe) yang dibekukan untuk melakukan klarifikasi dan pembelaan.
Akan tetapi, karna merasa tidak melakukan kesalahan organisatoris, Ketua AJI Manado menolak untuk melakukan ‘’pleidoi’’ di hadapan kongres AJI.
Akhirnya, Kongres AJI memutuskan AJI Manado diaktifkan kembali dengan melaksanakan kembali konferensi AJI Manado. Konferensi kedua AJI Kota Manado menunjuk Puja Sutamat(Radio Smart) sebagai Ketua dan kelak berkantor di Sario.
Selanjutnya Puja Sutamat memimpin AJI Manado selama tiga tahun ke depan dengan dibantu sejumlah personil seperti Raymond Pasla, Very Madjowa, Katamsi Ginano, Patria Pombengi, dan nama-nama lainnya. Dalam periode ini AJI Manado lebih banyak melakukan konsolidasi organisasi dan perektutan anggota.
Di tahun 2002, roda kepemimpinan di AJI Manado pergantian di mana Raymond Pasla (Harian Komentar) menjadi Ketua didampingi Sekretaris Jacky Sepang.
Beberapa nama yang muncul sebagai pengurus di era ini adalah Vonny Suoth dan Decky Geruh. AJI tidak lagi memiliki sekretariat, sehingga bergerak secara “gerilya”. Periode ini yang paling lama dalam perjalanan AJI Manado, yakni hampir satu dekade.
Setidaknya ada dua program utama yang dilakukan AJI kala itu, yakni kampanye anti ampolp, dan pembentukan Serikat Pekerja. Selain kegiatan lain seperti rekrtument anggota serta melakukan advokasi terhadap jurnalis.
Raymond Pasla menuturkan, ada beberapa kendala dalam periode panjang kepemimpinannya antara lain, beberapa pengurus dan anggota pindah ke daerah lain, sedangkan yang lainnya beralih profesi, dan berhenti sebagai jurnalis.
Berbagai kegiatan baik lokal maupun nasional juga diikuti AJI Manado. Namun kendala yang dihadapi adalah sulitnya memperoleh ijin dari perusahaan atau redaksi untuk kegiatan-kegiatan keluar.
Di tahun 2007, proses rekrutmen kembali dilakukan AJI Manado dengan bergabungnya sejumlah jurnalis muda seperti Yoseph E Ikanubun (Harian METRO), Haman Palandung (Harian METRO), Rolly Oroh (Harian METRO), Rahmat Umar (Harian METRO), dan Ricky Tulalo (Harian KOMENTAR).
Setelah rekrutment ini, AJI Manado kembali sepi dari kegiatan-kegiatan. Bahkan kembali ke posisi stagnan.
Tercatat dua kali mengikuti kegiatan nasional yakni Kongres VII tahun 2008 di Bali yang dihadiri Raymond Pasla, serta Rakernas AJI di Jakarta tahun 2009 yang diikuti Yoseph E Ikanubun. Selang waktu tahun 2009 – awal 2011, AJI Manado kembali “menghilang”.
Tanpa kepengurusan yang solid, juga makin minimnya jumlah anggota. Bahkan hingga Maret 2011, tercatat tinggal lima anggota yang masih aktif, dibawah kepemimpinan Ketua Raymond Pasla.
Angin segar kembali berhembus, membangkitkan kembali AJI Manado yang lebih kurang 9 tahun berada dalam kondisi stagnan.
Sabtu 05 Maret 2011, bertempat di Wale Kopi Manado, dihadiri Pengurus AJI Indonesia Eddy Suprapto, dilakukan konsolidasi organisasi. Tercatat tiga anggota yang hadir saat itu yakni, Raymond Pasla, Rahmat Umar, dan Yoseph E Ikanubun. Ditambah satu anggota pindahan dari AJI Batam, Agoes Soemarwah (Harian Tribun Manado).
Selain empat anggota itu, hadir juga sekitar 16 jurnalis yang mendaftarkan diri sebagai calon anggota AJI. Ini menjadi tonggak sejarah kebangkitan dan eksistensi AJI Manado hingga saat ini.
24 tahun sudah AJI lahir, dengan tetap mengobarkan semangat perlawanan terhadap upaya mengganjal kebebasan pers. Sementara secara internal meneruskan kerja-kerja peningkatan profesionalisme jurnalis, serta kesejahteraan pekerja media.(*)
Penulis : Yoseph E. Ikanubun
-Ketua AJI Manado Periode 2012 – 2015 dan 2015 – 2018
– Majelis Etik AJI Manado Periode 2018 – 2021
– Penguji Kompetensi AJI Indonesia
– Ahli Pers dari Dewan Pers