NASIONAL – Media massa telah mengabarkan bahwa, di negara-negara Timur Tengah dan Eropa mengalami suhu udara yang panas atau gelombang panas (heatwave). Hingga Sabtu (29/6/2019), gelombang panas di Eropa telah berdampak korban jiwa di Spanyol, di Prancis, dan di Italia serta mengakibatkan kebakaran hunian dan hutan di beberapa wilayah di Eropa selatan tersebut. Gelombang panas di Eropa dipicu oleh mengalirnya udara panas dari Afrika utara yang mengawali musim panas kali ini.
Selain Eropa, diberitakan bahwa gelombang panas juga menjangkiti kawasan Timur Tengah. Berdasarkan catatan pengamatan suhu udara permukaan sepanjang Bulan Juni 2019 oleh stasiun-stasiun pengamatan cuaca di Iraq, Kuwait, dan Arab Saudi, suhu maksimum tertinggi tercatat terjadi di Stasiun Basrah-Hussein (Iraq) sebesar 50.40C pada tanggal 10 Juni 2019, di Stasiun Mitribah (Kuwait) tercatat sebesar 51.40C pada 10 Juni 2019.
Suhu panas yang dirasakan di Timur Tengah merupakan perluasan gelombang panas yang menerjang India dari beberapa minggu lalu. Gelombang panas menjangkiti mulai dari India, Pakistan, Afghanistan, Turkemistan, Iran dan Saudia Arabia. Suhu permukaan di wilayah2 yang terpapar heatwave tersebut terukur bervariasi antara 34-51 derajat celcius.
Data Historis
Berdasarkan pola klimatologis, wilayah Timur Tengah memang memiliki suhu yang tinggi pada periode Juni, Juli, dan Agustus (JJA).Suhu tinggi pada periode Juni hingga Agustus ini disebabkan oleh posisi gerak semu tahunan matahari yang berada di wilayah Belahan Bumi Utara.
Sementara itu, kondisi ini pun didukung oleh faktor geografis wilayah tersebut yang terletak pada lintang utara 20°-30° yang umumnya beriklim gurun dan menjadi lokasi gerak turun massa udara (subsidensi) pada periode ini. Subsidensi udara mengakibatkan kandungan uap air di atmosfer yang relatif lebih sedikit dibandingkan wilayah pada lintang lain.
Grafik diatas menunjukkan bahwa kejadian suhu maksimum tertinggi pada kisaran 50°C sudah merupakan variasi iklim di wilayah tersebut pada episode iklim saat ini, meskipun bertambah seringnya kejadian suhu tinggi ini dapat diatribusikan sebagai dampak perubahan iklim.
Potensi Dampak terhadap Indonesia
Kejadian fenomena suhu tinggi di Timur Tengah diperkirakan tidak berdampak pada wilayah Indonesia. Selain karena sistem sirkulasi udara yang menyebabkan gelombang panas di wilayah Timur Tengah dan Eropa berbeda serta tidak mengarah atau menuju langsung ke wilayah Indonesia, suhu panas yang mencapai lebih dari 50 derajat celcius juga sangat kecil peluangnya terjadi di wilayah Indonesia.
Berdasarkan catatan historis suhu maksimum di Indonesia belum pernah mencapai 40 derajat celcius. Suhu tertinggi yang pernah tercatat di Indonesia adalah sebesar 39.5 derajat celcius pada tanggal 27 Oktober 2015 di Kota Semarang, Jawa Tengah (Sumber: BMKG Ahmad Yani Semarang).
Bagaimana Suhu Permukaan Indonesia pada Iklim masa mendatang?
Berdasarkan hasil simulasi proyeksi iklim multi-model menggunakan asumsi pertumbuhan ekonomi dengan penerapan pengendalian emisi dan teknologi hijau (skenario RCP4.5), iklim pada periode 2020-2030 mengindikasikan rata-rata suhu permukaan wilayah daratan di Indonesia akan lebih panas 0,2 – 0,3 derajat celcius dibandingkan dengan rata-rata suhu udara pada periode 2005-2015. Wilayah-wilayah yang diproyeksikan akan mengalami kenaikan suhu tertinggi terjadi di sebagian Sumatera Selatan, bagian tengah Papua dan sebagian Papua Barat.
Untuk mengantisipasi suhu udara permukaan yang semakin panas di masa yang akan datang, yang disebabkan oleh fenomena global warming, perlu adanya upaya adaptasi dan mitigasi. Upaya ini harus dimulai dari kesadaran kita untuk mengurangi hal-hal yang dapat meningkatkan emisi gas-gas rumah kaca ke atmosfer dan membekali diri dengan pengetahuan tentang dampak negatif dari perubahan iklim.
Fenomena Suhu Dingin Dieng
Kejadian gelombang panas dan suhu tinggi di wilayah Iraq, Kuwait dan Arab tidak adanya kaitannya dengan kejadian embun beku dan suhu dingin di Dieng dan Bromo.
Fenomena embun beku dan suhu dingin di wilayah Dieng dan Bromo lebih disebabkan oleh variasi musiman suhu di periode musim kemarau yang dipengaruhi angin monsun Australia serta topografi wilayah tersebut.
Pada periode musim kemarau, kurangnya tutupan awan menyebabkan radiasi balik gelombang panjang pada saat malam hari semakin kuat dan lebih banyak dilepas langsung ke atmosfer. Akibatnya, permukaan tanah dan atmosfer bagian bawah lebih cepat mendingin, bahkan hingga dibawah titik beku nol derajat yang menciptakan fenomena embun beku.
Selain itu, faktor elevasi/ketinggian tempat menentukan suhu di tempat tersebut, daerah yang memiliki ketinggian lebih tinggi akan memiliki suhu lebih dingin dibandingkan dengan daerah yang memiliki ketinggian rendah.
Suhu akan menurun sebesar 0.65 derajat celcius tiap 100 meter seiring dengan bertambahnya ketinggian suatu tempat. Oleh karena itu sejumlah daerah seperti Bromo atau dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah yang terletak pada ketinggian 2093 meter dapat mencapai suhu yang sangat dingin bahkan hingga di bawah 0 derajat celcius.
Dampak musim kemarau yang menyebabkan suhu relative dingin pada malam hari di wilayah Indonesia bagian selatan juga disebabkan oleh meningkatnya hembusan Angin Monsun Australia yang membawa massa udara kering dan dingin.
Berdasarkan pengamatan Suhu Minimum Harian oleh Stasiun Observasi BMKG menunjukkan wilayah Ruteng (Satarcik) dan Malang (Tretes) masih mencatat keadaan suhu paling dingin dalam beberapa hari terakhir. Pencatatan suhu minimum menunjukkan 10,4 derajat celcius di Tretes dan 13,8 derajat celcius di Bandara Frans Sales Lega, Ruteng per 27 Juni 2019.
Sumber : BMKG