Di tengah krisis terjadinya kebuntuan yang dialami oleh sejumlah lembaga yang, mulanya begitu konsern dengan keberlangsungan habitat satwa burung endemik, Maleo, di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), Persatuan Relawan Muda Molibagu (PEREDAM) telah mencanangkan aksi populisnya dengan melahirkan Gerakan Seribu Rupiah Untuk Maleo.
Gerakan bela satwa langka ini mulanya muncul dalam sebuah diskusi publik dengan tema “Masa Depan Maleo di Bolsel”, menghadirkan sejumlah pegiat lingkungan dan satwa, seperti WCS, komunitas pecinta alam, pemuda, siswa, juga Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.
Dalam diskusi tersebut mulailah terungkap bahwa keberlangsungan masa depan Maleo di Bolsel mulai terancam. Peneliti WCS yang hadir pada malam diskusi itu menyebut telah terjadi perubahan akses dan kondisi yang mempengaruhi keberlangsungan hidup Maleo di Bolsel. Terungkap pula mengenai keberadaan petugas penjaga Maleo di Tanjung Binerean dan Batu Managis tidak mendapatkan lagi bantuan operasional yang, sebelumnya diperoleh dari WCS dan TNBNW selaku pendamping petugas penjaga Maleo. Selain itu, akses bagi wisatawan menuju habitat Maleo di Batu Manangis kini sudah rusak.
Kondisi yang kian memprihatinkan inilah membuat PEREDAM terpanggil, ikut bertanggung jawab sebagai upaya melestarikan dan mempertahankan keberlangsungan burung Maleo.
“Kami merasa harus hadir melihat keprihatinan masa depan Maleo di Bolsel. Jangan Maleo hanya sebatas simbolik oleh daerah namun masa depan Maleo justru terancam. Olehnya, melalui forum diskusi ini, kami menggagas akan membuat gerakan Seribu Rupiah untuk burung Maleo,” ungkap Wiranto Makalalag, Ketua PEREDAM dalam diskusi tersebut.

Basri Lamasese (pegang mikrofon, red), relawan penjaga burung Maleo saat hadir di acara diskusi Masa Depan Maleo.
Pada momentum Lima Tahun lahirnya PEREDAM, komunitas pemuda yang memiliki komitmen tinggi terhadap misi kemanusiaan ini, juga telah melahirkan sebuah kesepakatan bersama terkait kelestarian hutan di Bolsel yang semakin kritis. Salah satu poin tersebut, peserta forum diskusi “Bolsel Darurat Bencana” menyatakan sikapnya, bahwa hutan di Kabupaten Bolsel tidak dibenarkan adanya perambahan hutan dan aktivitas tambang emas, baik berizin atau tidak berizin.
“Status hutan di Bolsel sedang “sakit koma”, butuh puluhan tahun untuk pemulihan hutan kembali lestari. Dan di masa kritis ini, hutan di Bolsel wajib hukumnya ditanami kembali dan tidak boleh ada satu pun aktivitas manusia selain hanya menanam pohon,” ucap Rizky Sadzali Laselo, Ketua Divisi Lingkungan Peredam.
Dia menambahkan, agar hutan ini dapat memiliki nilai kelestarian sekaligus juga manfaat ekonomis kepada masyarakat, hutan di Bolsel perlu ditanami pohon Seho dan tanaman Woka yang memiliki nilai komersil tinggi.

Suasana acara diskusi Masa Depan Maleo dihadiri oleh para pemuda dan siswa serta kominitas pecinta alam di Bolsel.
“Pohom Seho, selain bisa menghasilkan air nira untuk gula aren, juga buah kolang kaling dan ijuk. Seho juga punya peran penting untuk menciptakan ruang iklim ekologis. Karena sekitar Seho harus dibarengi dengan penanaman pohon kayu yang lebih tinggi dari Seho, agar Seho dapat tumbuh sehat,” terang Rizky.
Ke depan, lanjut Rizky, Bolsel tidak hanya menjadi daerah yang asri bebas bencana banjir dan longsor, Bolsel akan dikenal sebagai petani penghasil gula aren dan tanaman daun Woka terbesar di Sulawesi Utara.
“Inilah konsep kelestarian hutan di Bolsel. Sekaligus memberikan harapan baru bagi masyarakat sebagai petani gula aren dan daun Woka yang kini banyak dibutuhkan untuk ritual ibadah umat Hindu di Bali,” ungkap Rizky.
Untuk diketahui, acara HUT ke-5 PEREDAM, juga dirangkaikan gelaran UMKM, pentas seni dan budaya oleh sanggar seni, serta pemberian santunan kepada anak yatim piatu. Acara ini didukung dan disponsori oleh Second Brand Pattern, WCS, Dinas Pariwisata Bolsel, Koperasi Produsen Pidung Jaya, PWI Bolsel, JRBM, P Pro, Sanggar Seni Muntia, Pemda Bolsel, HX, Dinaku Coffiee and Eatery, Bank Sulutgo, Alsyah Art, Obalre Warna, Cherish Harriette Mokoagow, Instink.net. (***)
Penulis : Faisal Manoppo
Editor : Bonny Hardian