Hampir tidak ada yang mampu melawan waktu. Perubahanlah yang senantiasa mengiringi waktu demi ke waktu.
Namun penganan khas suku Bolango yang ada di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan ini harus bertahan melawan segala perubahan setiap masa berganti masa. Bentuknya seperti biapong pipih berwarna putih pucat berserat berisi kelapa parut dan gula aren di dalamnya yang dibungkus dengan daun pisang. Adalah kue Kukusa. Kue tradisional suku Bolango ini masih bertarung dengan hantaman beragam penganan kekinian.
Inilah alasan kue Kukusa tetap eksis meski dihimpit kue-kue yang lebih menarik secara rupa dan rasa karena bahan baku Kukusa sangat sederhana, yakni dari ubi kayu atau singkong dan gula aren. Hanya saja cara pembuatan Kukusa yang tergolong unik dan masih digunakan sejak hampir satu abad lalu.
Ubi kayu yang sudah di parut belum cukup untuk proses pembuatannya. Parutan ubi kayu kemudian diperas dengan menggunakan kain tipis sebagai penyaringnya. Karena kandungan cairan pada ubi kayu ini mengandung senyawa beracun (asam sianida / HCN) jika dikonsumsi berlebihan. Ampas ubi kayu ini dimasak dengan cara kukus di sebuah gerabah dan separuh batok kelapa.
Gerabah—peralatan dapur yang terbuat dari tanah liat— dengan tinggi sekitar 30 sentimeter ini (dapat menampung satu liter air) telah dimodifikasi menjadi serupa botol labu Cina namun dengan batang leher cukup besar yang terbuat dari ampas ubi kayu yang dikeringkan. Bagian tengah di antara kendi labu Cina itu ditempatkan separuh tempurung bermata satu dijadikan alat trasmisi untuk mengatur suhu uap yang dihasilkan dari didihan air di dalam kendi. Alat kukus ini menjadi terlihat unik karena pada pucuk kendi juga terdapat setengah batok kelapa untuk mengukus bahan Kukusa. Dan sebagian batok kepala juga dijadikan penutup Kukusa yang dimatangkan dengan uap air panas, mirip memasak kue Putu.
Djulaeha Djurumudi (45) warga Desa Soguo Kecamatan Bolaang Uki, adalah satu di antara sedikit orang yang masih memasak kue Kukusa dengan cara penguapan menggunakan kendi tersebut. Tradisi ini dilakukan secara temurun yang diwariskan oleh keluarganya. “Sejak saya masih kecil, nenek saya sering membuat Kukusa,” ucap ibu tiga anak ini.
Selain hasil berkebun, Djulaeha memperoleh pendapatan dengan menjajakan Kukusa di sekitar desanya. Dengan seperti itu, secara tidak langsung Djulaeha telah mempertahankan tradisi pembuatan kue Kukusa khas suku Bolango; sekaligus melawan waktu di mana telah bermunculannya aneka rupa dan rasa penganan yang diproses secara modern.
Hikayat Kukusa
Pada awal abad-20, masyarakat suku Bolango sebelumnya mengenal kue Wilrepa’o. Kue ini menjadi ‘cikal bakal’ terciptanya Kukusa yang hingga saat ini masih bertahan. Hi Zulkarnain Ointu menuturkan, masa itu Kukusa hadir sebagai makanan alternatif suku Bolango saat mengalami krisis pangan. Ubi kayu yang menjadi bahan dasar Kukusa juga sangat melimpah melatarbelakangi asal mula kue ini. Dapat disebut, Kukusa adalah makanan utama pengganti beras oleh suku Bolango, sebab pada saat itu komoditi beras masih langka karena harus diperoleh dari luar daerah.
“Untuk mendapatkan beras, kami menukar (barter) dengan ikan. Waktu itu ikan laut di Bolsel sangat melimpah. Tapi barter itu dapat dilakukan ketika bukan di musim penghujan. Kalau masuk musim ombak, aktivitas transportasi laut (moda transportasi utama di Bolsel) terhenti. Karena akses jalan darat baik masuk dan keluar Bolsel saat itu sangat sulit,” terang Zulkarnain. “Jadi, Kukusa merupakan pangan primer masyarakat suku Bolango untuk menghadapi masa krisis pangan tempo itu. Makan Kukusa dapat mengenyangkan perut lebih lama, sama seperti makan nasi,” tambahnya.
Menurut tokoh adat Bolango ini, awal mula kue Kukusa yakni di Desa Toluaya—dan Desa Soguo (hasil pemekaran). Oleh masyarakat setempat Kukusa masih terus dilestarikan sejak masih zaman kerajaan Bolango. Kukusa tersaji tiap acara keagamaan seperti memperingati Maulid Nabi Muhammad dan juga acara ritual keagamaan lainnya. Para tokoh (dan kerajaan) ketika itu sangat sadar benar bahwa kue Kukusa yang menjadi identitas suku Bolango patut dilestarikan. “Karena ada yang mengatakan Kukusa berasal dari Gorontalo, itu sangat tidak benar,” tegasnya.
Di penghujung pertemuan wawancara dengan Zulkarnain, Rabu (26/1/2022) sore, di kediamannya Desa Toluaya, dia sangat berharap, kue Kukusa harus menjadi ikon makanan khas suku Bolango yang perlu diangkat martabatnya. Harus diakui, Kukusa cukup asing di tengah generasi saat ini. Tidak sedikit generasi mulai angkatan tahun 80-an ke atas, sudah tidak biasa lagi makan Kukusa karena telah banyak kue-kue baru yang lebih menarik. “Apalagi mengenai asal usul Kukusa ini,” ketusnya.
Perlu juga diketahui, selain Kukusa, suku Bolango juga memiliki kue-kue khas lainnya. Yakni Pinangaso (terbuat dari sagu dan gula merah serta kacang ijo/brenebon); kue De’de’o (bahan tepung beras persis kue cucur namun bentuknya memanjang); dan Dompo Durian (bahan buah durian dan gula aren).
“Nah, Dompo Durian ini yang banyak disukai. Setelah daging durian dan gula arennya dimasak menjadi satu, lalu dimasukkan ke dalam bulu (bambu) lalu di bakar. Terbayangkan pasti enak rasanya,” kata kepala desa Toluaya periode 2000-2010 ini. (Faisal Manoppo)