Instink.net, JAKARTA – Presiden Joko Widodo tak kunjung menandatangani pengesahan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD atau MD3 yang telah disepakati pemerintah dan DPR dalam sidang paripurna, Senin (12/2/2018).
Menkumham Yasonna Laoly mengklaim Jokowi sengaja belum membubuhkan tanda tangan karena terkejut dengan sejumlah pasal dalam UU MD3. Bahkan, Yasonna menyebut Jokowi terbuka kemungkinan tidak menandatangani revisi UU tersebut.
Direktur Pusat Studi Hukum dan Konstitusi Universitas Andalas, Feri Amsari menilai tindakan Jokowi ibarat lempar batu sembunyi tangan jika tidak mengambil sikap tegas atas UU yang dihasilkan atas kesepakatan bersama tersebut.
Menurutnya, Jokowi selaku pimpinan tertinggi eksekutif sudah pasti mengetahui materi dan dinamika, bahkan memberi masukan atas revisi UU MD3 kepada Yasonna selaku perwakilan pemerintah.
“Saya melihatnya (Jokowi) lempar batu sembunyi tangan. Padahal bagaimanapun semua hal yang berkaitan dengan UU MD3 itu mestinya presiden mengetahui atau membaca,” ujar Feri, Rabu (21/2/2018).
Jokowi tak kunjung menandatangani hasil revisi UU MD3 lebih kepada pertimbangan personal. Jokowi dianggap khawatir dicap lalai oleh masyarakat karena tidak mengawasi pembahasan UU tersebut secara serius.
Jika dugaan itu benar, Feri meminta Jokowi lebih realistis untuk bertanggung jawab dengan cara menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dengan tujuan menghapus pasal yang menjadi polemik.
Desakan itu dilakukan agar Jokowi tidak terkesan menyalahkan anak buahnya karena sejalan dengan parlemen dalam mengesahkan revisi UU tersebut.
Feri membeberkan, ada empat pasal yang harus dihapus oleh Jokowi lewat Perppu, yakni pasal 73, pasal 74 ayat 5, pasal 122 huruf k, dan pasal 245. Keempat pasal itu jika berlaku bisa menimbulkan oligarki di parlemen yang tidak sesuai dengan konstitusi.
“Presiden harus menanggapi dengan bijak, merespons masukan dari masyarakat dengan mengakui memang pasal-pasal ini bermasalah. Oleh karena itu bertanggung jawab membenahinya lewat Perppu,” ujarnya.
Di sisi lain, Feri menuturkan UU 12 tahun 2012 tentang Pembentukan Perundang-undangan menyatakan rancangan UU yang sudah disetujui bersama oleh eksekutif dan legislatif namun tidak ditandatangani oleh presiden sejak 30 hari disepakati bersama akan tetap berlaku dengan sendirinya.
Aturan dalam UU itu sengaja dibuat untuk mencegah hasil legislasi yang tertahan karena ada satu pihak yang menarik kesepakatan usai mencapai kesepakatan bersama.
“Agak aneh kalau presiden bersikap di luar persetujuan bersama itu. Oleh karena itu kalau presiden tidak setuju dan baru sadar soal permasalahan UU MD3 mestinya mencoba membentuk langkah-langkah yang tidak bersebrangan dengan ketentuan UU,” ujar Feri.
Lebih dari itu, Feri berharap pembatalan pasal yang bermasalah di UU MD3 tidak dilakukan lewat uji materi di Mahkamah Konstitusi. Hal itu lantaran MK sudah tidak netral dalam mengambil keputusan.
Ia menganggap MK sudah banyak melakukan kongkalikong dengan DPR dalam banyak hal.
“Saya meragukan MK bisa menjadi wasit yang adil karena perspektifnya kan MK sudah melakukan kongkalikong dan. Bermain mata dengan DPR dalam banyak hal. Jadi solusi alaternatifnya jangan ke MK, tapi lebih menyadari presiden ada salahnya lalu membuat Perppu,” ujarnya.
Sumber : cnnindonesia.com
Editor : Rama Yudistira