Sebelum Menulis Isu Sensitif, Jurnalis Perlu Jernihkan Perspektifnya

Google+ Pinterest LinkedIn Tumblr +

Senjata seorang jurnalis adalah karya jurnalistiknya. Melalui tulisan atau karya jurnalistiknya, seorang jurnalis bisa memberikan kontribusi bagi perubahan sosial. Itu sebabnya ada Kode Etik Jurnalistik yang dibuat untuk sebagai pedoman jurnalis ketika berkutat dengan pekerjaannya.

Pasal pertama Kode Etik Jurnalistik langsung mencantumkan wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Alinea berikutnya dari pasal tersebut memberikan penafsiran; Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi. Kemudian berimbang, yang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara. Dan tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

Pencantuman sikap independen, akurat, berimbang dan tidak beritikad buruk pada pasal pertama menunjukkan pentingnya memegang empat sikap itu ketika seorang jurnalis melakukan proses jurnalistik, mulai dari liputan, melakukan wawancara, hingga menuangkannya dalam bentuk karya. Empat sikap itu meminta jurnalis tak mencampuradukkan fakta dan opini dalam proses pekerjaannya, juga meminta jurnalis jernih dalam melihat persoalan. Terutama dalam liputan-liputan khusus yang terkait isu yang sensitif seperti SARA, hingga isu sosial seperti LGBT.

Pentingnya menjernihkan perspektif jurnalis saat bekerja membuat Aliansi Jurnalis Independen bekerjasama dengan Ardhanari Institute sepakat mengadakan workshop yang dilanjutkan dengan lesson learn bertema “Keberagaman Gender dalam Perspektif HAM.”

Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Abdul Manan mengatakan, sebelum menulis dan menayangkan karya jurnalistiknya, seorang wartawan perlu menjernihkan perspektifnya. Workshop Keberagaman Gender dalam perspektif HAM, menurut Abdul Manan, menjadi tempat yang tepat bagi seorang wartawan untuk melihat isu-isu keberagaman gender dengan perspektif netral dan humanis.

“Prinsip Kode Etik AJI adalah bagian dari komitmen dan tanggung jawab etik kita sebagai wartawan untuk menempatkan kelompok minoritas dalam porsi yang benar dan profesional. AJI membela semua kelompok yang HAM-nya tertindas. AJI membela hak kelompok minoritas,” ujar Abdul Manan ketika menyampaikan sambutannya dalam lesson learn sebagai bagian “Keberagaman Gender dalam Perpsektif HAM” yang digelar di Jakarta, 30 Oktober 2018.

Abdul Manan menambahkan, bagi orang awam, memberikan stigma apalagi stigma negatif masih mungkin terjadi. Tapi hal tersebut pantang dilakukan oleh jurnalis. Pelatihan-pelatihan yang dilakukan oleh AJI adalah bagian dari cara AJI memberikan perspektif yang jernih pada jurnalis agar mampu menyampaikan karya jurnalistik tanpa menghakimi.

Komisioner Komnas HAM Muhammad Nurkhoiron juga menilai saat ini segala bentuk diskriminasi terhadap kelompok LGBT makin meluas dan sistematis. Menurutnya, tindakan diskriminatif terhadap kelompok LGBT terjadi karena masih banyak orang yang menganggap LGBT merupakan bagian dari penyakit mental yang harus disembuhkan. Pemerintah sebagai pengambil kebijakan seharusnya bisa memberikan informasi yang benar terkait LGBT, sehingga tidak memunculkan beragam stigma negatif dan prasangka buruk. Sayangnya itu belum terjadi.

“Padahal negara wajib melindungi secara khusus, dengan afirmative action. Saat ini kita mengalami kevakuman HAM. Hampir semua pasal dalam konstitusi kita tidak ada turunan perspektif HAM,” ujarnya.

Nurkhoiron menilai, kelompok LGBT adalah kelompok minoritas, yang malah sering menjadi sasaran kebijakan yang tidak berperspektif HAM. Menurutnya, perkembangan kasus LGBT di Indonesia mengalami kemunduran karena LGBT selalu dikaitkan dengan persoalan agama.

“Sewaktu UNDP menarik dananya hingga US$3 juta, saya sangat menyayangkan itu. Apalagi program yang terkait dengan isu LGBT ternyata hanya lima persen dari anggaran sebesar itu. Setelah kasus itu saya bertemu dengan banyak pihak, dan juga menyurati Bappenas. Ternyata jawaban mereka semua hampir sama dengan MUI. Mereka menjawab, kasus ini mengganggu konstitusi,” ujar Nurkhoiron.

Ia menyedihkan terjadinya berbagai kasus penyerangan, kesewenang-wenangan, dan kekerasan terhadap kelompok LGBT. Ia menengarai, stigma dan tuduhan soal LGBT lebih bersifat pragmatis dan politis.

Dalam lesson learn tersebut, 20 jurnalis yang hadir dari berbagai kota di Indonesia juga saling berbagi pengalaman mereka saat melakukan liputan mengenai LGBT. Hal yang nyaris sama yang mereka sampaikan adalah banyak narasumber dari kelompok LGBT yang akhirnya mundur teratur karena mengkhawatirkan keselamatan dirinya, teman-teman mereka, dan keluarganya. Para jurnalis ini juga saling mengonfirmasi bahwa isu LGBT kerap tinggi intensitasnya menjelang Pilkada, Pileg, dan Pilpres.

“Sepertinya setiap menjelang pesta politik, isu LGBT kembali ramai dengan berbagai hoax-nya,” ujar Ervan, peserta dari Jakarta.

Menyadari isu ini bukan lagi isu sosial, namun sudah menjadi ‘gorengan politik,’ para jurnalis sepakat menahan diri untuk tidak meneruskan atau mempublikasian informasi apapun yang tak jelas soal LGBT, kecuali mereka sudah berhasil melakukan konfirmasi. Mereka juga sepakat untuk tak larut dalam pemberitaan masif soal LGBT, kecuali mengedepankan pertimbangan HAM. Dua anggota AJI Manado menjadi penerima fellowship ini yakni Yoseph E Ikanubun dan Isa Anshar Jusuf.

Penulis : Yoseph E Ikanubun (Mantan Ketua AJI Manado)

Bagikan berita ini:

Comments are closed.

instink.net