Dalam ilmu dasar filsafat, Imam al-Ghazali mengkategorikan manusia menjadi empat golongan atas pengetahuannya: dia Tahu kalau dirinya Tahu; dia Tidak Tahu kalau dirinya Tahu; dia Tahu bahwa dirinya Tidak Tahu; dia Tidak T ahu kalau dirinya Tidak Tahu.
Bingung menempatkan dia pada golongan tersebut di atas, buah pikir (pengetahuan) dalam artikel Herdi “Tuan Pembela” Mokodompit telah memberikan saya ilham untuk menambah satu dari empat katagori oleh filsuf muslim pesohor itu. Hemat saya, mungkin, katagori versi terbaru pada abad ini, adalah titik gelap dasar kedalaman jurang tingkatan pengetahuan manusia. “Dia Tidak Sadar Kalau Dirinya Tidak Sadar”. Teori dadakan ini, tampak nyata melekat pada dinding gaib alam pikirnya. Pernah berucap atau mendengar orang mengatakan “saya tahu tapi saya tidak menyadarinya”?.
Diksi “tahu” dan “sadar” dalam manifestasi pengetahuan manusia memiliki kedudukan yang hampir setara. Tahu belum tentu sadar; sadar sudah pasti tahu. Sadar adalah sikap yang setinggi-tingginya dan semulia-mulianya pengetahuan yang termanifestasi dalam jiwa manusia. Jiwa yang sehat terdapat pikiran yang kuat (baik).
Dia, Herdi Mokodompit, saya menaruh iba atas dirinya saat ini. Tidak perlu memaksakan ketidaksadaran yang secara tidak sadar pula telah mementaskan diri dan menjadi bahan olok-olok memalukan. Kendati setidaknya, artikel ini membuat dia sadar kelak; menertawakan dirinya sendiri yang telah sadar di masa mendatang. Jejak rekam digital ini akan tersimpan dengan sangat baik. Biarkan “jejak rekam digital” ini akan menamparnya sendiri hingga dia sadar meski dalam waktu yang cukup lama.
Pikirannya berputar-putar tak ada ujung seperti kain sarung terekspresi dalam catatannya. Jalan buntu yang dialami membuatnya tidak mampu keluar mencermati artikel saya sebelumnya. Inilah sebab miskin data dan papah informasi. Dia menganggap tugasnya menjawab lantas selesai hanya dengan mengutip seolah hasil wawancara—di belakang meja makan—bapaknya sendiri, Kepala BPBD Bolsel, serta mengabaikan fakta yang ada.
Dalam karya jurnalis, fakta adalah elemen data yang paling ampuh “membunuh” subjek untuk memberikan petunjuk kepada jurnalis. Sang sumber boleh saja berkilah “tidak” ketika fakta disodorkan. Sebagai fungsi jembatan, jurnalis menyajikan informasi dan publik boleh mencermati: Apakah fakta atau hoax.
Tidak sedikit fakta telah disuguhkan dalam artikel saya sebelumnya tidak mendapati tempat berarti baginya. Saya mahfum dan sangat menyadari, saya berhadapan dengan orang yang hanya berupaya menguatkan bangunan argumentasi-argumentasi cebol dan rapuh. Sungguh, sekali lagi, saya menaruh iba.
Dia tidak tahu persis—bahkan sama sekali tidak tahu di ketidaktahuannya—dan benar-benar tidak sadar apa yang sebenarnya terjadi sepanjang waktu kelam di Pakuku Jaya dan Milangodaa Barat juga puluhan desa lainnya di Bolsel di terjang banjir.
Tidak jernih menilai editorial “Bangun Semangat Baru” mengandung unsur pemaksaan; dipaksaan terhadap Bupati Iskandar Kamaru melakukan perombakan di tubuh BPBD Bolsel. Editorial tersebut memberikan “peringatan” kepada sang Pemegang Hak Istimewa bahwa ketidakcakapan Kepala BPBD Bolsel dalam penanganan bencana Juli-Agusutus lalu tidak boleh lagi terulang.
Editorial Bangun Semangat Baru dapat saya jelaskan lebih ringkas: Tidak ada tawar menawar. Ini menyangkut puluhan ribu nyawa manusia. Bupati Iskandar Kamaru semestinya menempatkan pejabat yang, setidaknya, cukup memiliki wawasan geografis daerah serta tatakelola penanggulangan kebencanaan di Bolsel. Tidak kalah penting, calon pejabat Kepala BPBD mutlak memiliki jiwa kritis kepekaan, cepat-tanggap dan tangguh. Pada kriteria ini, saya sangat yakin Bupati Iskandar Kamaru tahu menempatkan siapa kandidat tepat Kepala BPBD Bolsel 2021.
Kerja keras sang anak Kepala BPBD Bolsel mengkritik editorial “Bangun Semangat Baru” tidak lebih hanya akan membuatnya tenggelam mati ke alam ketidaksadarannya. Dia akan bersemayam kekal di dalamnya. Saya dalam doa mengaminkan. Maknai sandiri jo.. (Faisal Manoppo)