Di tangan kosongnya, Jadav Payeng sukses gemilang menciptakan tanah yang tandus karena deforestasi menjadi hutan yang rimbun dan sejuk serta menjadi sumber penghidupan di India Utara. Dengan cara yang sangat sederhana, tiap hari pria tiga anak ini berjalan kaki selama 20 menit, menyeberangi sungai, dan kembali berjalan selama 2 jam menuju tanah yang kosong tersebut untuk ditanami bibit tanaman pohon. Upaya inisiatif yang dilakukannya selama 40 tahun ini telah mendatangkan hasil yang hampir mustahil.
550 hektar lahan kosong tersebut berubah menjadi hutan yang kini telah menjadi habitat hewan sekaligus kebutuhan masyarakat untuk bercocok tanam. Luas lahan ini setara dua kali lipat dari Tanam Nasional Baluran di Banyuwangi, Jawa Timur. Hutan buatan ini dinamai Jadev Payeng. Atas jerih dan payah sang petani ini, Jadev Payeng dijuluki sebagai Bapak Hutan dari India. Jadev menjadi sumber inspirasi akan pentingnya menjaga dan melestarikan hutan sebagai sumber penghidupan bagi seluruh mahluk hidup.
Di bagian lain, sisi kontras yang sangat jauh atas hasil yang telah diperjuangkan oleh Jadev Payeng, tergambarkan dalam realitas kehidupan masyarakat di Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur (NTT), saat ini. Penduduk lokal Pulau Komodo yang sudah puluhan tahun hidup berdampingan dengan hewan purba ini harus tersingkirkan. Alih-alih memberi penghidupan, mereka terusir oleh dampak pembangunan wisata super premium yang digagas oleh pemerintah pusat.
Mulanya nelayan lokal tidak boleh memancing di kawasan pantai konservasi dengan beralih menjadi pedagang pernak-pernik bagi pengunjung wisata sebagai pengganti mata pencaharian warga lokal. Menyusul pembangunan wisata super premium, warga kemudian dilarang berjualan di sekitar wisata yang khusus hanya mendatangkan orang berduit. Tambah lagi, dampak dilingkungan yang ditimbulkan proyek tersebut, kini masyarakat sulit mendapatkan air bersih.
Bercermin atas pengalaman tersebut di atas, menciptakan perubahan yang mendatangkan kebaikan dapat dilakukan dengan tulus dan sungguh-sungguh serta berkelanjutan tanpa mengenal kehilangan harapan. Namun sebaliknya, menciptakan perubahan tanpa mempertimbangkan dampak sosial, ekonomi dan lingkungan namun berharap hasil keuntungan besar semata dapat mengganggu pada stabilitas keberlangsungan kehidupan manusia serta sumber penghidupan di sekitarnya.
Tidak selalu investor bisa mendatangkan keuntungan bagi masyarakat lokal. Ingat, prinsip modal utama yang digelontorkan oleh investor yakni profit dan profit. Dan pastinya, mereka (investor) akan berlindung di belakang pemerintah sebagai garansi mendapat perlindungan melalui produk-produk hukum dan kebijakan—berpihak kepada investor—yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Pemerintah dan masyarakat di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel) dapat menarik hikmahnya.
Pengembangan wisata bahari yang sejauh ini telah dijerihkan oleh pemerintah Bolsel dapat dikatakan bernilai positif bagi masyarakat pesisir. Sebut saja wisata selam (diving), wisata hutan mangrove dan konservasi burung Maleo di Tanjung Binerean. Meski dalam banyak hal masih perlu dibenahi terutama dalam membangun kesadaran kemandirian masyarakat sebagai tuan rumah.
Penguatan pengembangan wisata di hilir dengan mengeluarkan produk-produk hukum guna melindungi kawasan wisata konservasi burung Maleo, misalnya, tidak dibarengi dengan upaya menjaga kelestarian hutan sebagai ekosistem yang tidak dapat dipisahkan antara hulu dan hilir. Adanya sejumlah lokasi tambang emas di belantara hutan Kabupaten Bolsel (Desa Tobayagan dan Tolondadu), berpeluang membuka ruang bagi pelaku-pelaku penambang emas menjalar mengeksploitasi dan menumpas hutan. Belum dampak buruk lainnya yakni penggunaan zat-zat kimia berbahaya oleh pelaku tambang emas.
Sikap kesan menutup mata dan tidak berdaya dari pemerintah daerah akan berdampak semakin marak dan masifnya pelaku tambang emas menggerogoti hutan-hutan sekaligus habitat hewan dan tumbuhan endemik berujung tidak dapat dikendalikan. Banyak contoh seperti yang terjadi di Bakan (Kabupaten Bolmong dan Nuangan (Kabupaten Boltim). Hutan Nuangan eks PT Avoced—kini JRBM—kondisinya masih rusak. Reboisasi hutan yang seyogyanya menjadi tanggungjawab perusahaan tambang pasca eksploitasi entah tidak kunjung terwujud.
Sebelum segalanya hancur dan binasa, selagi masih ada nyawa dan harta benda yang bisa diselamatkan (tidak terjadi bencana banjir), langkah tegas dari pemerintah Bolsel guna menutup dan menghentikan seluruh aktivitas tambang emas serta menolak dikeluarkannya izin tambang dari pemerintah provinsi dan pusat, perlu ditunjukkan sebagai bentuk tanggungjawab negara melindungi masyarakat dan sumber penghidupan lainnya. Kondisi iklim dan geografis Kabupaten Bolsel amat sangat rentan terjadinya longsor dan banjir. Antara hulu dan hilir terbentang tidak begitu jauh, di mana populasi penduduk terus bertambah dan kelestarian pantai (terumbu karang) harus dijaga.
Solusi yang tidak mustahil bisa dilakukan oleh pemerintah dalam upaya membendung bercokolnya pelaku tambang emas di hutan Bolsel, salah satunya yakni pemerintah dapat membangun wisata edukasi alam berbasis masyarakat lokal (bukan investor), dengan memanfaatkan pengenalan vegetasi dan burung endemik yang tumbuh-lepas liar di hutan. Juga membangun kawasan base camp, di mana pengunjung dapat berkemah ria bersama keluarga—yang disediakan oleh pengelola (warga lokal)—sehingga bisa merasakan kenyamanan menyatu dengan keindahan alam.
Tidak ada manfaatkan panjang yang bisa ditawarkan oleh keberadaan aktivitas tambang emas bagi keberlangsungan hidup yang sejati kepada masyarakat lokal selain hanya kerusakan dan kehancuran alam. (Kolomnis Instink.net: Faisal Manoppo)