’’Jika sesuatu perbedaan tidak menyatukan kalian, cintai dan rindukan gunung. Maka persahabatan nan tulus lahir adalah keniscayaan’’
—Faisal Manoppo—
‘‘Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai dan melestarikan kekayaan keanekargaman sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Oleh karena itu, upaya konservasi dan pemanfaatan secara lestari perlu ditanamkan kepada generasi saat ini dan generasi mendatang’’
—Direktorat Jenderal PHKA (Buku Informasi 50 Taman Nasional Indonesia)—
Malam 18.11.2019, saya dengan Iwan sedang asyik ngobrol di teras depan rumah. Hampir sejam larut dengan obrolan sambil ngopi, kemudian Chan datang ke rumah saya. Dia mengabari sebelumnya akan mampir di rumah.
Sehari sebelumnya, kami bertiga sempat bersama nanjak ke Gunung Ambang. Mendaki gunung bersama, lama tidak kami lakukan. Jika dihitung pastinya hampir satu dasawarsa. Pertemuan kami mengulang kembali cerita lama ketika semalam suntuk di puncak Gunung Ambang. Chan, Iwan dan saya sudah lama berteman. Chandra Manoppo, begitu nama lengkap Chan—mantan ketua MPA Wallacea, adalah senior saya dan Iwan di kampus UDK.
Berbeda dengan Chan yang masih aktif di kampus sebagai dosen. Dalam hal mendaki, beberapa kali saya dengan Iwan telah melewati trip pendakian seperti di Gunung Klabat (2014/2019) dan Gunung Rinjani, 2015 lalu.
Kembali pada obrolan ngopi ketiga lelaki di teras depan rumah. Di pertengahan obrolan, Chan menyampaikan usulannya untuk pendakian berikut. Namun kali ini lebih dari sekadar pendakian biasa. Untuk menguatkan usulannya, Chan mengisahkan, lokasi ini sempat dia rencanakan bersama rekan-rekannya di Mapala Wallacea di era kepengurusan MPA Wallacea tahun 90-an. Tapi sayang hanya sampai pada titik perencanaan karena keterbatasan dana. Di momentum ini, sepertinya dia yakin usulannya bakal terwujud.
’’Torang pergi ke lokasi air terjun. Air terjun ini bernama Selendang Biru’’. Chan menuggu jawaban saya dan Iwan.
Mendengar nama air terjun ini, saya dan Iwan saling bertatapan. Bukan apa, melainkan takjub sekaligus penasaran. Saya dan Iwan melempar banyak pertanyaan mengenai keberadaan air terjun ini. Berapa tinggi air terjunnya, lokasinya di mana, berapa lama perjalanan. Dan satu pertanyaan terakhir yang menjadi penentu: apakah sudah ada yang pernah melihat air terjun itu? Chan menjawab, selain warga ‘tertentu’ di desa setempat, tidak ada yang pernah melihatnya.
Nah, ini menarik! Saya dan Iwan lantas bersepakat. Jadi!
Air Terjun ’’Selendang Biru’’ di Desa Bumbung Kecamatan Lolak, Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong), masuk di kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TN BNW). Cerita Chan mulai mendalam. Di era kepemimpinan Alm Djambat Damopolii, bupati ke-IX Kabupaten—sebelum dimekarkan—Bolmong tahun 80-an ini sempat melihat langsung lokasi air terjun tersebut dari ketinggian dengan helikopter. Kemudian, dia memerintahkan Balai TN BNW untuk mencari tahu tepatnya lokasi air terjun itu. Terbentuklah tim dari TN BNW. Singkatnya, lokasi air terjun masih misterius karena tim TN BNW tidak bisa menemukannya ketika itu.

Air Terjun Selendang Biru di tingkat kedua. Foto ini diambil oleh TN BNW saat pencarian air terjun pada Oktober 2019. (Foto: TN BNW)
Kabar terakhir diterima Chan bahwa TN BNW wilayah seksi III Kecamatan Maelang sudah mendapati lokasi air terjun itu, sebulan lalu. Mereka memulai dari Desa Maelang selama lima hari perjalanan. Di titik pemberhentian terakhir karena tidak mendapati jalur menuju air terjun, TN BNW hanya dapat mengambil gambar dari kejauhan. Dasar air terjun tidak dapat dijangkau karena berada di tepian jurang dan terhalang rimbunan pohon. Di ketinggian itu, angin disertai hempasan buliran air terjun cukup kuat dirasakan. Menurut mereka, air yang terjun seperti tidak sampai dasar karena ketinggian dan dihempas angin. Menurut kesaksian warga, masih ada air terjun tingkatan ke dua dan ketiga di bawahnya. Tingkatan air terjun yang sangat tinggi dan terjal ini menyerupai selendang serta nampak elok dari ketinggian di antara langit biru sehingga dinamakan Selendang Biru.
Mendengar itu, bukan malah ciut. Mata saya dan Iwan jadi berbinar seperti mendapati lokasi harta karun. Tanpa komando, Chan, Iwan dan saya, kompak langsung mulai menyusun rencana persiapannya malam itu juga! Nama tim pun ikut terinspirasi nama air terjun itu: ’’X-Pala Ekpedisi Selendang Biru’’. Huruf ‘X’ diartikan mantan. ‘Pala’ tidak lain Pecinta Alam. Saya dan Iwan adalah alumni mahasiswa UDK dan bergabung di Mapala Wallacea. Sementara Chan adalah salah satu perintis MPA Wallacea UDK. Untuk kata ’’Ekspedisi’’ dari KBBI: perjalanan penyelidikan ilmiah di suatu daerah yang kurang dikenal. Tidak hanya sebuah perjalanan sampai ke tujuan, ekspedisi ini juga mengidentifikasi serta mendata satwa dan vegetasi di zona inti kawasan TN BNW.
Selanjutnya, desain logo tim ekspedisi—akhirnya disempurnakan oleh Fandy Ciputra Gumeleng, teman hobi mancing saya.
Masuk tahapan terakhir. Sebagaimana dialami Chan ketika pertama merencanakan ekspedisi di Air Terjun Selendang Biru, kami bertiga sempat terhenti sesaat setelah usai membuat rencana dan menyusun tim siapa saja yang akan dilibatkan.
Duit. Dana awal yang bisa terkumpul tiga hari kedepan dari kami Rp 1,5 juta. Masih tersisa 75 persen lagi untuk menutupi seluruh kebutuhan selama ekspedisi yang ditaksir tujuh hari perjalanan. Selang sejam kemudian mencari solusinya, akhirnya kami mendapat jawaban dari seseorang yang siap menyokong seluruh anggaran. Alhamdulillah, Anggota DPR RI Komisi V dari Dapil Sulut, Hi Herson Mayulu SIP, menyatakan bersedia menjadi bagian dari ekspedisi Selendang Biru ini. Mendapat jawaban itu, api seperti tersiram bensin. Tekad kami kian bulat-kuat.
Bersiap
Setelah beberapa kali mengalami perubahan, nama-nama komunitas pencinta alam yang ikut dalam tim ekpedisi Selendang Biru telah ditetapkan. Atas rekomendasi Chan, kami melibatkan tiga KPA (Komunitas Pecinta Alam): KPA Manguni Green Community, KPA Rhipidura dan KPA Gurilas. Chan cukup mengenal sesiapa anggota dari ketiga KPA tersebut yang memenuhi kualifikasi. Standar kualifikasi tentu bukan sekadar kuat memikul ransel dan menanjak. Beda dengan pendakian di gunung-gunung yang jalurnya sudah terang benderang. Medan jalur yang bakal ditempuh berkisar tiga hari perjalanan (belum dihitung pulang) tidak dapat diprediksi sehingga di ekspedisi ini membutuhkan beragam keterampilan dan saling mengisi kekurangan guna mendukung keselarasan dalam tim.
Di hari kedua masa persiapan, nama-nama tim XPALA ’’Ekspedisi Selendang Biru’’, akhirnya dikukuhkan: KPA Manguni Green Community: Rivan dan Panji; KPA Gurilas: Aping; KPA Rhipidura: Boim; TN BNW: Hadi; dan satu orang warga lokal–berharap akan ditentukan oleh kepala desa Bumbung.
Melibatkan perwakilan TN BNW dalam ekspedisi ini cukup penting karena mereka memiliki titik koordinat menuju air terjun tersebut. Alternatif lain untuk memudahkan ke lokasi air terjun dengan cara konvensional (navigasi darat), kami perlu juga melibatkan satu orang warga lokal yang pernah melihat langsung air terjun tersebut. Tentu metode guide ini akan sangat memudahkan—dalam efisiensi waktu dan efektivitas tenaga—tim ketimbang mengaplikasikan navigasi darat dengan menggunakan peta, kompas, garis busur dan lainnya.
Tim terdiri 9 orang sudah terbentuk. Chan, Iwan dan saya berlanjut dengan persiapan lainnya. Menyiapkan peralatan panjat/turun tebing.
Hari ketiga (20.11.2019), peralatan climbing yang sudah lama tersimpan di gudang Sekretariat MPA Wallacea, kembali dibongkar. Beberapa peralatan seperti carabiner cukup banyak yang hilang. Alat climbing ini cukup mahal sehingga kami harus meminjam dari beberapa teman.
Ya, kami berencana akan menuruni dari ketinggian air terjun dengan teknik yang sangat ekstrem. Pada bagian ini, saya dan Iwan harus sesegera mungkin menyesuaikan, paling tidak mengenal dan tahu cara pakainya. Kami mulai melakukan latihan repling dan single top rope (STR) di Sekretariat Manguni Greeen Community. Di sana tersedia wall climbing setinggi 8 meter. Untuk tambahan informasi, satu-satunya fasilitas wall climbing yang ada di Bolmong Raya ini hanya di KPA Manguni Green Community.

Beberapa peralatan alat panjat tebing dipersiapkan. (Foto: Rivan/KPA.Manguni GC)
Cukup dua hari, Iwan dan saya mulai mempelajari teknik repling dan STR. Terakhir saya menggunakan kedua teknik ini 2004 silam. Dengan kondisi postur tubuh ‘bulat’ saat ini, sebenarnya saya dan Iwan perlu memakan waktu lama. Terutama teknik STR dengan dua jumer atas dan bawah butuh tenaga yang lebih dari cukup. Pada akhirnya, saya dan Iwan sudah maksimal dan harus berlapang dada dengan penguasaaan teknik climbing meski sebatas memahami fungsinya. Sementara kawan-kawan dari KPA dan MPA dengan usia kepala dua, lebih menantang latihan panjat dinding.

Iwan berlatih teknik panjat STR di KPA Manguni Green Community. (Foto: Faisal Manoppo)
SIMAKSI Berbuah Silaturahmi
Perlengkapan mulai tali panjat, carabiner, tenda, kompor mini portabel, gas kaleng ransel, senter, batrei, sleeping bag, fly sheet, P3K, dan kebutuhun logistik–termasuk bekal makanan abon ikan buatan Lita–untuk 9 orang selama perjalanan estimasi 7 hari, sudah lebih dari 95 persen rampung di hari minus ke-3. Tinggal satu tahap lagi, yakni pengurusan administrasi surat izin masuk dalam kawasan konservasi dari Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.
Meleset dari diperkirakan. Pengurusan Simaksi ini tidak semulus persiapan sebelumnya. Chan, Iwan dan saya harus bolak-balik ke kantor balai yang terletak di Jalan AKD Kotamobagu. Dan hampir saja jadwal ekspedisi terpangkas banyak hanya mendapatkan Simaksi. Izin Simaksi baru bisa keluar tiga hari setelah surat permohonan diajukan Sabtu 23.11.2019. Tahapan prosedural ini dilakukan karena kami sepenuhnya sadar, memasuki kawasan TN BNW hingga ke Zona Inti tidak sesembarang seperti masuk ke areal hutan jenis lainnya. Balai TN BNW memiliki tugas dan wewenang menjaga kestabilan ekosistem hutan dan satwa di TN BNW yang terbesar di Sulawesi yakni dengan luas 282.008,757 hektare. TN BNW dilengkapi puluhan Jagawana yang siap melindungi kawasannya. Pertimbangan lain, kami tidak ingin mengambil resiko ketika di tengah perjalanan, ekspedisi ini harus dihentikan karena tidak ada Simaksi.
Chan, Iwan dan saya di ruang kerja Sekretaris TN BNW, ibu Yanti, saat mengurus izin SIMAKSI, Senin (25/11/2019). (Foto: Faisal Manoppo)
Kami kemudian mengadakan pertemuan dengan Kepala Balai TN BNW di rumah dinasnya, di Kotamobagu, setelah pertemuan kami dengan ibu Yanti, sekretarisnya, di kantor balai Senin siang itu. Pada pertemuan 25.12.2019 malam, tim ekspedisi dan TN BNW telah terjalin beberapa komitmen dan usulan perjanjian kerja sama terkait dengan perencanaan dan program TN BNW ke depan. Atas terajutnya komitmen tersebut, pengeluaran izin Simaksi yang sedianya bakal memakan biaya setengah juta rupiah, akhirnya dibebaskan. Alhamdulillah. Dibalik keterlambatan pengurusan Simaksi, kami mendapatkan hikmahnya.
Saat itu juga, setelah izin Simaksi sudah ditangan, kami mulai bergegas berkemas. Wajah Jojo, Rivan, Boim, Panji, dan Aping yang sedari pagi sudah stand by di rumah saya sebagai tempat titik awal keberangkatan, kembali bersemangat. Satu dari dua mobil tambahan yang akan dipakai mengantar ke Desa Bumbung pada malam itu, kami dapatkan pinjaman dari Nevri. Beserta dua relawan mahasiswa UDK, Didi dan Angga yang siap lahir-batin mengantar dan mengembalikan kembali mobil pinjaman. (BERSAMBUNG)
Catatan sesudahnya:
6 Komentar
Wir Ƅieten in Deutschland, Österreich und der Schweiz absolut alle
Füһrerschеinklassen an, von Zwеirädern der Klasse A bis zu Unterkateɡorien deг Klasse D für Personenkraftwagen, einschließlich der Unterkategorien B und C für Liցht
Vehicles unnd Trᥙcks. Weitere Informationen zu Führerscheinklassen finden Sie unter.Führerschein kaufen ohne prüfung http://fuhrerschein-und-dokumente.com
Terima Kasih atas dukungannya.
Lanjutkan ekpedisinya.
Ini baru namanya artikel petualang..
Menarik. Alur ceritanya berasa dari bagian itu.
Asyik ceritanya.. Seperti ikut di dalamnya.