“Kok di pantai gak ada yang jualan es kepala muda. Jualan ikan bakar juga gak ada. Gimana, sih? Seorang wanita asal ibu kota metropolitan ini cukup dibuat keheranan dan tidak habis pikir. Masyarakat penjaja di wisata pesisir Kabupaten Bolaang Mongondow tidak menyajikan makanan dan minuman khas pantai. “Yang dijual malah mie instan, gorengan dan es jeruk kemasan. Itu mah makanan harian saya di rumah.” Lantas kami balik kanan dan akhirnya mendapatkan menu ikan laut bakar justru di tepi jalan raya bantaran sungai. Wanita dengan logat jawanya yang kental ini meringis.
Pemandangan ini boleh jadi tidak hanya terjadi di Kabupaten Bolaang Mongondow. Di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (selanjutnya dibaca: Bolsel), misalnya, rumah makan ikan bakar hanya dapat dijumpai di tepi pantai boulevard sepanjang pesisir desa Sondana dan sebagian Tolondadu. Menu makanan di sejumlah objek wisata hutan mangrove di Desa Tabilaa, Dudepo, dan Luwoo tidak beda juga yang dialami wanita tadi. Kalau bukan kudapan gorengan, ya, mie instan.
Hal sepele tapi memiliki dampak yang cukup besar ini menjadi bahan refleksi, apa yang membuat wisata pantai di sebagian besar daerah di Bolmong Raya ini (BMR) tidak begitu memikat, setidaknya salah satu referensi yang direkomendasikan banyak orang lokasi di BMR. Jika menyebut pemandangan pantai dan laut yang lebih menarik pasti ada di beberapa daerah di Sulawesi Utara.
Sebut saja Pulau Lihaga, Minahasa Utara. Siapa yang tidak terpikat nuansa pasir putih dan lautnya–lengkap dengan bangunan gazebo konsep bambu. Mungkin ada yang menimpal, jangan membandingkan dengan Pulau Lihaga, dong. Oke. Kalau begitu, bagaimana dengan Pulau Tiga di Lolak? Sejauh ini apa yang sudah dilakukan dengan potensi alam yang sangat menjanjikan itu?
Di daerah selatan Bolmong, Kabupaten Bolsel kini telah mendapat ikon sebagai satu-satunya wisata bahari terbaik di BMR, khususnya bagi peminat olahraga selam (photography) underwater. Bolsel telah berhasil merebut posisi sebagai representasi daerah wisata bahari di BMR.
Untuk pencapaian hingga hari ini, pariwisata Bolsel menapaki perjalanan yang cukup panjang dan tidak mudah—tentunya menelan anggaran yang tidak sedikit pula. Mulai dari ajang Festival Teluk Tomini berjilid setiap tahunnya, juga dengan acara-acara pertunjukan besar lainnya yang diongkosi APBD, gaung wisata Bolsel sudah cukup dikenal. Dengan harapan menjadikan Bolsel salah satu daerah wisata bahari terbaik di Sulut serta dengan multi efeknya yakni meningkatkan taraf hidup ekonomi masyarakat.
Namun sejauh ini, melihat dengan kasat mata, Bolsel masih tertatih dengan konsep promosi yang sudah usang itu. Turis atau wisatawan domestik nyatanya belum mendongkrak ekonomi masyarakat. Harapan pemerintah daerah mewujudkan wisata bahari yang dapat mengubah taraf hidup masyarakat di Bolsel nyatanya masih jauh panggang dari api. Pemerintah masih terus berupaya mempromosikan potensi wisata dengan pola yang sama dan cenderung boros: menciptakan event besar dengan anggaran yang juga besar. Usai acara, ‘kehidupan’ kembali normal. Inilah mengapa yang membuat gairah wisata di Bolsel masih berjalan di tempat.
Kurang peka (untuk tidak mengatakan tidak peka) terhadap perubahan dan era yang saat ini sedang dihadapi. Sejatinya, wisata Bolsel tinggal selangkah lagi. Acara demi acara pertunjukan pariwisata Bolsel sudah terlampu jauh menjulang ke atas langit. Pemerintah Bolsel, khususnya Dinas Pariwisata, acap mengambil alih menjadi lokomotif pariwisata Bolsel. Sementara pijakan awal yang akan menguatkan pariwisata ini dapat terus bergeliat dan berkembang secara mandiri justru terabaikan.
Lima hal elementer yang cukup sederhana sekaligus menjadi kunci jalan keluar yang membuat pariwisata di Bolsel ini terlihat ngoyo, yakni, masyarakat belum sadar wisata; masyarakat tidak melek teknologi; miskin kuliner; minim atraksi budaya; dan terakhir—sebagai pelengkap—perlu menggandeng guiders/selebgram.
Bagaimana sikap dan respons masyarakat desa yang memiliki potensi atau objek wisata di desanya terhadap para pengunjung/wisatawan yang datang?
Dapat dilihat, masyarakat cenderung tidak banyak yang menyadari bahkan terkesan duduk pangku manis ketika wisatawan datang. Sebaliknya,—justru inilah yang membuat masyarakat terkesan manja dan pasif—pemerintah senantiasa berada di garda terdepan menyambut dan mengawal wisatawan. Belum adanya upaya pemerintah membekali masyarakat di desa wisata tentang bagaimana cara menjadi local guider, seperti menyambut dan mengantar wisatawan.
Di sinilah hilangnya kemandirian masyarakat yang seharusnya sadar sebagai tuan rumah. Menjadi local guider, warga akan merasakan langsung keuntungannya, karena sudah pasti ada ‘negosiasi’ antara local guider dengan wisatawan.
Local guider juga bisa memanfaatkan peluang menyediakan fasilitas yang mungkin dibutuhkan di lokasi wisata, seperti tenda, hammock (kondisi bersih dan harum), alat masak dan panggang ala BBQ, sekaligus jadi koki. Pengujung atau wisatawan tidak perlu lagi membawa bekal dan perlengkapan yang cukup merepotkan itu. Pelancong cukup hanya membawa ‘ekspetesi’ dan ‘doks’ (fulus). Tinggal lihat bagaimana upaya local guide mampu membawa wisatawan sampai pada titik ekspetesi tersebut bahkan lebih dari itu akan lebih baik. Mereka pasti dengan sukarela merogoh kantongnya lebih dalam.
Porsi peran pemerintah Bolsel bisa ambil bagian dengan memberikan dukungan kepada local guiders di desa-desa, misal, local guider dapat menunjukkan jumlah referensi wisatawan yang sudah didampingi dalam periode tertentu. Semakin besar dan beragam asal wisatawan yang didampingi, semakin besar peluang untuk mendapat dukungan oleh pemerintah Bolsel (Dinas Pariwisata).
Dukungan tersebut dapat berupa bantuan hibah perlengkapan guide yang lebih memadai atau dikirim untuk mengikuti pembekalan guide oleh lembaga berkompeten guna peningkatan keprofesionalitasan sebagai guiders yang bersertifikasi internasional. Ini sebagai upaya membangkitkan motivasi dan melahirkan guiders yang baru dan profesional di desa-desa, terutama yang memiliki objek wisata.
Di samping itu, multi efek lainnya, dengan terbinanya masyarakat sadar wisata, mereka akan merawat dan menjaga desanya. Menjaga desa dari sampah-sampah hingga sekecil puntung rokok tidak tampak di pekarangan, jalan dan pantai. Membersihkan tanaman liar lalu menggantinya dengan tanaman hias sedap dipandang dan pohon berbuah lebih bermanfaat. Ini upaya mengubah mindset dan perilaku masyarakat desa.
Pula, pemerintah dapat mendampingi mereka dengan memberikan rujukan kreasi untuk membangun penginapan yang biayanya terjangkau, seperti pondok bambu dengan konsep nuansa etnik budaya lokal. Bila perlu libatkan arsitek lokal untuk mendesainnya. Manfaatkan bahan kayu dan bambu di desa. Tentu pertimbangan lebih ramah lingkungan dan ringan di kantong. Sebisa mungkin jauhi konsep bangunan berbahan beton berwana-warni dan lantai porselen. Semakin alami bernuansa etnik dan purba karena memiliki nilai artistik budaya lokal yang tinggi, semakin menarik pikat di hati para pelancong, terlebih wisatawan asing. Identitas budaya otomatis ikut terangkat.

Ini salah satu bangunan pondok bambu di pantai Pulau Lihaga, dapat dijadikan bahan contoh bentuk bangunan bernuansa etnik.
Memanfaatkan platform media sosial berbasis internet. Masyarakat pelaku UMKM, sudah pasti turut andil di dalamnya. Bukan eranya lagi gelar promosi desa ‘offline’ banyak ongkos itu. Cukup biaya 300-500 ribu sebagai awalnya, UMKM bisa promosi produk dengan menggunakan halaman Facebook berbayer untuk meningkatkan ribuan followers juga Instagram bersponsor dan ditautkan dengan website desa untuk menampilkan lebih banyak produk desa bagi pengunjung (viewers). Bekali mereka teknik sederhana fotografi dan videografi tema kuliner yang menarik hanya dengan gawai ponsel pintar.
Akan lebih efektif, efisiensi waktu dan uang namun dapat menjangkau puluhan bahkan ratusan ribu akun di seluruh dunia yang secara algoritma direkomendasikan oleh platform media sosial yang digunakan. Ini juga berlaku untuk mengenalkan objek-objek wisata di Bolsel. Mereka dapat menggunakan sarana internet untuk promosi produk lokal.
Harus disadari, sebagaimana yang dialami di BMR, Bolsel miskin menu kuliner. Sebagaimana kisah di atas yang dialami seorang wanita peneliti selama sepekan di Kabupaten Bolmong. Jika bukan ikan bakar dan sup ikan, jajanan kuliner yang lazim banyak dijumpai di belahan Nusantara: nasi goreng dan lalapan, bukan hal menarik lagi bagi wisatawan.
Bolsel punya ikan tuna, penghasil ikan kembung dan malalugis. Kenapa tidak dibuatkan kontes menu makanan dari bahan dasar itu dengan tampilan dan cita rasa berbeda. Tidak melulu ikan goreng rica.
Kuliner unik dan enak hasil sayembara atau sejenisnya itu dapat dijadikan salah satu menu lokal favorit di Bolsel.
Mengisi waktu lengang wisatawan underwater, misalnya, banyak dihabiskan bercengkrama di kamar-kamar penginapan dan tongkrongan demi tongkrongan. Tidak akan memberi kesan menarik untuk mereka kisahkan di luar sana. Bolsel perlu menggali kembali budaya-budaya kuno yang mungkin sudah lama punah.
Saya pernah mendengar, sepak bola kampung dahulu di Bolsel, bukan melihat bagaimana kepiawaian dan kekompakan para pemain. Melainkan bagaimana pelatih yang tidak lain adalah sang dukun mengobati pemainnya yang mengalami cedera dan saat itu sembuh seketika. Ajaib memang. Ini dapat menjadi tontonan menarik di waktu senggang wisatawan.
Atau boleh jadi, mungkin saja Bolsel memiliki atraksi kebal sajam, mirip atraksi Ngurek di Bali, namun dengan cara yang berbeda, dapat menjadi daya tarik budaya Bolsel itu sendiri. Poinnya, atraksi semakin aneh dan gaib, itu yang dicari wisatawan.
Sebagai pelengkap jika dibutuhkan, Pemda Bolsel dapat menggandeng guiders profesional dan selebgram lokal yang punya banyak followers guna mempromosikan wisata-wisata yang sudah terbangun dengan langkah-langkah disebut tadi. Akan lebih efektif mengirim seorang guiders profesional ke luar negeri untuk mempromosikan Bolsel di luar sana lalu membawanya datang ke Bolsel. Komunitas guide memiliki banyak relasi turis-turis asal mancanegara yang gemar melancong.
Pemandu solo asal Gorontalo, Adnan Djalil, mengaku mampu membawa lima hingga sepuluh turis dari belahan negara di Eropa secara berkelanjutan datang ke Bolsel, dengan syarat wisata Bolsel memang sudah siap. Siap yang dimaksud pria yang cakap berbahasa Inggris ini dalam artian cukup luas.
Bolsel sudah ‘terlanjur’ memilih jalannya sebagai daeerah wisata bahari dan telah menggelontorkan duit APBD yang tidak sedikit jumlahnya. Apa yang keliru dengan langkah yang sudah ditempuh itu?
Dipenghujung tulisan ini, alangkah peka dan cerdas Pemda Bolsel menyudahi event-event besar telan banyak duit APBD, seraya menoleh ke belakang, apakah masyarakat dan desa wisata sudah siap menjadi ‘pelayan’ wisatawan? (faisal manoppo)