Kunjungan BPKP Sulut Tuai Protes Warga Desa Pindol

Google+ Pinterest LinkedIn Tumblr +

Puluhan warga Desa Pindol Kecamatan Lolak Kabupaten Bolaang Mongondow, Selasa (11/7/2023) menyampaikan sikap protes kepada Badan Pemeriksa dan Pembangunan Keuangan Pemerintah (BPKP) Perwakilan Sulawesi Utara terhadap rencana realisasi penggantian tanah dan tanaman yang kini telah di bangun bendungan di desa tersebut.

Pernyataan sikap protes tersebut disampaikan Habibi Paputungan, salah satu warga Desa Pindol, saat menghadiri rapat pertemuan yang dilaksanakan di balai kantor Kecamatan Lolak, siang itu, antara warga terdampak pembebasan tanah dan tanaman yang difasilitasi oleh Dinas PUPR Provinsi Sulut, Balai Wilayah Sungai Sulawesi I, dan BPKP Sulut.

Sebagaimana dalam undangan resmi dari Kementerian PUPR Dirjen SDA Balai Wilayah Sungai Sulawesi I, bernomor UM.01.02-BWS11/202330710.0001, perihal Koordinasi Dalam Rangka Reviu BPKP Terhadap Pelaksanaan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Bendungan Lolak di Kabupaten Bolmong. Diawal rapat tersebut, tim perwakilan dari BPKP Sulut menyatakan, review ini bertujuan untuk mengklarifikasi terkait pelaksanaan penanganan dampak sosial yakni pembebasan tanaman milik warga Desa Pindol yang masuk di kawasan proyek pembangunan Bendungan Lolak

Namun, dipenghujung sebelum rapat tersebut diakhirnya, dan kemudian akan dilakukan wawancara antara BPKP Sulut dengan pemilik tanaman, Habibi Paputungan menyampaikan bahwa proses pembebasan lahan dan tanaman selama ini terkesan ditutup-tutupi. Tidak sedikit masyarakat yang terdampak pembangunan bendungan tersebut puas dengan hasil perhitungan (taksiran) dan pembayaran pembebasan lahan dan tanaman.

“Kami merasa dirugikan atas pembebasan lahan dan tanaman yang dilakukan oleh pihak BPN dan Balai Sungai. Ada lahan milik warga yang hingga saat ini belum dikompensasi dan harga tanaman yang dibawah harga kewajaran,” ungkap Habibi.

Hal yang sama juga diungkapkan LSM Merah Putih Rahmat Algaus, sedikitnya terdapat masih sekitar sembilan hektar lahan perkebunan masyarakat yang belum dibayarkan. Di sisi lain, sebagian besar lahan yang sudah digarap selama lebih dari 40 tahun oleh warga diklaim oleh pihak BPN dan Dinas Kehutanan masuk dalam kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT). Sementara, menurut Undang-undang Pokok Agraria, kawasan hutan yang sudah dimanfaatkan oleh warga lebih dari sepuluh tahun, telah menjadi hak masyarakat.

“Banyak dari masyarakat dipermainkan dalam proses ganti untung lahan dan tanaman. Proses ganti untung yang tidak transparan dan membodohi masyarakat. Kami akan terus mengawal persoalan ini hingga hak-hak pemilik lahan dan tanaman warga Pindol yang dikompensasi dapat terpenuhi secara adil,” ungkap Rahmat.

Hasil rapat tersebut tidak berjalan sukses. Dari 25 warga yang hadir, hanya beberapa saja yang menerima dan menandatangani formulir klarifikasi yang diajukan oleh pihak BPKP Sulut. Sebagian besar warga yang menolak tidak setuju dengan nilai harga tanaman yang akan dibayarkan.

“Pohon kayu merah yang usianya lebih dari 10 tahun masak hanya dihargai Rp 127 ribu per pohon. Ini namanya pembodohan yang merugikan masyarakat. Harga tanaman yang dinilai tidak jelas karena gelondongan, atau tidak item per item,” ungkap Habibi bersama warga lainnya.

Protes penolakan tersebut mereka tulis dalam bentuk surat pernyataan sikap yang dibubuhi tandantangan oleh warga pemilik tanaman. Kemudian surat protes tersebut mereka serahkan kepada BPKP Sulut. (red)

Bagikan berita ini:

Comments are closed.

instink.net