Bunyi Seruling di Bukit Kabela (Eps: IV) XPALA ’’Ekspedisi Selendang Biru’’— sebuah catatan perjalanan di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Desa Bumbung, Bolmong, Indonesia

Google+ Pinterest LinkedIn Tumblr +

’’Di hutan rimba menyimpan beragam tanaman dan banyak satwa liar. Itu yang nampak. Kita juga wajib ‘menghormati’ sesuatu yang tidak kasatmata di hutan Indonesia. Selain kita, juga ada ‘mereka’ di sana’’

Faisal Manoppo

 

Kamis 5.12.2019, Pukul 08.30 Wita, sebagian dari kami masih tertidur. Rasanya cukup nyaman sampai di sini. Namun perjalanan panjang menanti. Chan terbangun. Lainnya mulai bergegas dan mengemas barang. Tenda di gulung, perapian di padamkan. Pakaian dinas yang basah kemarin, hari ketiga ini sudah cukup kering terjemur di atas batu-batu besar. Alhamdulillah, pakaian dinas cukup bersahabat menempel di badan. Pagi menjelang siang ini, kami hanya sarapan kopi panas. Sebab papa Budi sudah bersiap mengantar kami ke tempat tujuan. Dia memperkirakan, hari ini, jika kami terus berjalan, bisa sampai di lokasi air terjun. Menyusuri sungai ke zona inti TN BNW kembali berlanjut.

Hari ketiga perjalanan tim ekspedisi beristirahat di ‘cabang dua’. (Foto capt: Faisal Manoppo)

Belum sejam, kami harus kembali menyeberangi sungai yang sebagian besarnya sedalam batas pinggang. Ransel harus di pikul di atas pundak.

Pakaian basah lagi. Mengeluarkan air dari dalam sepatu boots dan memeras kaos kaki lagi-lagi menjadi pekerjaan tambahan seperti tidak berkesudahan. Resiko sepatu boots anti air dari luar, anti air juga dari dalam. Isi sepatu boots seperti jadi kolam. Jika tidak dikeluarkan, kaki dalam boots serasa berjalan di dalam kantong berair dan becek. Sungguh itu sangat tidak mengenakkan.

Rivan memikul ranselnya di pundak saat menyeberangi sungai. (Foto capt: Faisal Manoppo)

Perjalan kami tidak sampai masuk membelah ke dalam hutan. Meski menyusuri di punggungan bukit dan pinggiran sungai, ada saja yang kami temukan. Sesekali kami menjumpai jejak kaki Babi hutan; kubangan lumpur becek tempat bermain binatang babi hutan dan Anoa (Bubalus). Beberapa diantaranya dari kami melihat anak ular sanca berukuran botol kaleng minuman bersoda. Pasti di dalam hutan sana sang induk menanti. Mata saya selalu awas mengitari hutan. Babi hutan atau ular sanca bukan soal, melainkan binatang Anoa yang kami khawatirkan. Ketika merasa terancam, hewan endemik Sulawesi ini bisa menghantam mahluk apa saja yang ada di hadapannya. Apalagi manusia.

Kisah tim TN BNW ketika pencarian air terjun sebulan sebelumnya, nyaris di seruduk hewan yang dilindungi ini. Tim terdiri lima orang lari terpencar menyelamatkan diri masing-masing seraya membidik pohon untuk bisa di panjat. Siapa yang berani berhadapan dengan tanduknya yang tajam itu bisa mengoyak tubuh manusia sampai tercabik-cabik. Untungnya, hewan yang hidup semi soliter ini hanya lari berlalu membongkar jalur mereka. Ternyata, jalur yang mereka lewati juga adalah wilayah kekuasaan Anoa.

Jejak kaki babi hutan di jalan berbecek di tepi sungai kami temui. (Foto capt: Faisal Manoppo)

Pukul 13.00 Wita kami tiba di sungai cabang dua yang kedua. Karena perut belum terisi sejak pagi, kami membuka peralatan memasak dan logistik. Beberapa kali Papa Budi mengumpulkan siput dari pinggiran sungai. Mie kuah instan dan siput rica melengkapi menu siang kami. Seberes makan, kami memenuhi air minum di botol tumbler masing-masing dari sungai cabang sedang yang cukup bening. Air sungai induk belum cukup layak karena berwarna agak kecoklatan. Seperti tidak sabaran, Papa Budi kembali memulai perjalanan melewati punggungan bukit.

Saya dan tim menampung air bening dari cabang anak sungai. Sungai induk berwarna kecoklatan karena hujan di hulu. (Foto capt: Faisal Manoppo)

Lagi-lagi kami melewati jalur curam berbatu. Jalur berbatu dengan kelerengan hampir 50 derajat ini sangat rawan jika kondisi hujan. Bentangan tali rotan sekitar enam meter yang diikat di pohon seberang jalur, hanya ‘pengaman’ ketika terperosok. Sekali lagi, kami tidak ingin menggantungkan nyawa dengan seutas tali rotan yang entah sudah berapa lama di pasang oleh warga. Kawan-kawan cukup berhati-hati memijakkan sepatu boots-nya di permukaan lereng batu karena jika terpeleset sedikit saja, tidak ada hambatan lain selain terperosok mulus hingga terjun bebas ke dasar jurang berbatu. Papa Budi mengatakan, satu orang pernah tewas karena tergelincir di jalur ini.

Saat giliran Rivan melewati jalur tebing batu curam. Terlepas saja dari pijakan, maut taruhannya. (Foto capt: Faisal Manoppo)

Jarum jam menunjuk pukul 17.45 Wita. Hari sudah mulai gelap. Perjalan di depan terasa masih panjang. Seusai melewati cabang sungai ke tiga, Papa Budi menyampaikan kabar gembira kepada kami: air terjun sudah mulai dekat. Sekitar setengah jam lagi. Di sinilah ‘siasat’ Papa Budi dikeluarkan. Bahwa kemungkinan kami akan bermalam, akhirnya batal karena mendengar kabar tersebut. Akhirnya, senter kepala mulai dikeluarkan. Ini adalah perjalanan panjang hingga malam hari yang pertama kami. 

Cahaya senter menembus pekatnya malam di pinggiran sungai. Seiring waktu yang terus berjalan, sementara diantara kami ada yang kelelahan, tim mulai terpisah jarak. Chan, Boim dan Papa Budi sepertinya sudah jauh meninggalkan Panji, Aping dan Jojo. Dan tentu saja, Iwan, Rivan dan saya paling di belakang di antara mereka. Sudah tiga jam perjalanan, di ujung sana tidak ada tanda-tanda ‘kehidupan’. ’’Rupa baku sedu skali Papa Budi pe ‘setengah jam’. So tiga jam ba jalan belum sampe-sampe ini (Waktu setengah jam perkiraan Papa Budi sepertinya hanya candaan. Sudah tiga jam berjalan belum sampai juga). Keluh Iwan terlihat sudah sangat kelelahan.

Rivan, Iwan dan saya akhirnya memilih istirahat sejenak di bebatuan tepi sungai. Sambil meregangkan tubuh yang terasa pegal dan teramat sangat lelah, kami ngobrol serampangan sambil menghisap rokok. ’’Cuma torang tiga di tengah hutan ini (cuma kita bertiga di tengah hutan ini)’’. Kelakar Iwan mencoba menyadarkan saya dan Rivan. Mungkin karena saking kelelahan, kami tidak begitu peduli dengan apa yang ada di sekitar. Kami hanya butuh istirahat meski sejenak.

Sebatang rokok ‘dji sam soe’ tinggal satu senti lagi. Usai memadamkan bara rokok dan menyimpan sisa puntung ke dalam kantung tas ransel, kami melanjutkan perjalanan. Sejam kemudian, kami melihat sekelebat senter jarak selemparan batu. Iwan cukup senang karena mungkin akan sampai. Nampak Jojo, Panji dan Aping. Mereka sempat menunggu kami yang berada di belakang. ’’So dapa lia pa Chan? (Sudah ketemu Chan?)’’  tanya Iwan. ’’Belum dapa lia (belum ketemu)’’ sahut Jojo. Wajah Iwan tidak bisa menyembuyikan rasa kelelahannya.

Karena cukup jauh tertinggal, kami bingung mencari jalur sebenarnya di sungai yang bercabang. Tim kemudian terbagi dua. Aping dan Panji berinisiatif memilih melewati jalur sebelah kiri. Saya, Iwan, Rivan dan Jojo melewati jalur sebelah kanan. Agak jauh di depan, ada cahaya senter mengarah ke saya. Itu Aping. Ternyata di ujung cabang sungai mempertemukan kami kembali.

Kami terus menyusuri dan menyeberangi sungai di malam hari. Beberapa kali kami melewati pepohonan yang tumbang menutupi sungai. Satu kali saya terpeleset di atas batu dan tercebur di sungai hanya karena tergesa-gesa ingin merekam kotoran monyet di atas batu. Untung kamera dalam tas saya selamat dari air.

Sekitar pukul 22.00 Wita, agak ketinggian dari sungai, kami melihat sebuah cahaya lampu. ’’Nah, itu dorang (nah itu mereka)’’ ucap saya seraya mengarahkan lampu senter kepala ke arah sumber cahaya. Semangat kawan-kawan membuncah. Langkah saya melompat di antara bebatuan begitu lincah mengarah ke tempat peristirahatan.

Chan, Boim dan Papa Budi sudah hampir tiga jam menuggu kami. Tanah di dataran tinggi yang di apit dua sungai menjadi basecamp terakhir kami sebelum ke air terjun. Tidak cukup luas untuk didirikan tenda. Namun ada beberapa pohon. Hammock yang kami bawa akhirnya ada gunanya. Posisi bentangan hammock Chan dan Boim sangat strategis karena berada di tengah dan tertutup atap fly sheet. Saya dan Panji menyisip bagian yang tersisa. Iwan, Rivan, Jojo dan Aping terpaksa rela bentang hammock cukup dekat di tepi sungai.

Seusai memilih posisi hammock, kami yang baru sampai di basecamp membentang tali untuk menggantung pakaian basah lalu menghangatkan badan dengan pakaian kering. Sementara Boim sadar hanya dia ‘junior’ sudah sampai duluan di basecamp, mulai meracik masakan. Udang dan siput jadi satu dengan bumbu pedis ala Boim. Sudah pakai cabai tambah jahe pula. Rasa super pedis cukup mengalihkan rasa lelah dan dingin kami yang baru tiba. Tetap saja karena lapar, hidangan habis tak tersisa. Seperti biasa, saya makan hanya secukupnya saja seperti makannya ala orang bule.

Malam mulai sangat larut. Kami belum sadar besok sudah hari Jumat. Artinya, malam pertama kami di basecamp terakhir adalah malam Jumat.

Seusai makan, isap rokok beberapa batang dan ngobrol perjalan esok, satu persatu kami kembali ke hammock masing-masing.

Entah jam berapa, saya sempat terbangun karena kedinginan. Saya lupa mengenakan sleeping bag (sb). Saya mengambil sb di dalam ransel. Papa Budi hanya berselimut dengan kain, tidur di atas matras dekat dengan perapian. Tim terlihat sudah tertidur pulas. Terkecuali Iwan di balik hammock masih terlihat senter menyala. Ternyata dia sedang mengaji. Saya tidak heran karena saya sangat hafal tentang sahabat saya satu ini. Ke mana pun ketika kami melakukan perjalanan jauh, dia tidak lupa membawa kitab Al’qur’an seukuran saku. Saya kembali ke hammock.

Iwan tidak mengetahui saya sempat merekam ketika di balik hammcok dia sedang mengaji pada malam pertama di basecamp. (Foto capt: Faisal Manoppo)

Kisah Mistik Iwan dan Rivan

Di malam pertama itu, suasana terdengar hanya suara arus sungai. Tiba-tiba tidak jauh dari tempat kami, Rivan mendengar suara seorang pria dewasa mengucapkan salam. ’’Assalamu’alaikum’’. Sumber suara itu cukup dekat di antara kami. Rivan kemudian terbangun dari hammock-nya dan menyenter ke arah di sekitar sumber suara. Tidak ada siapa-siapa selain kami yang sudah tertidur. Dia mencoba tidur kembali meski pun sangat sulit. Dia terus berpikir ‘sesuatu’ mengenai sumber suara itu.

Lain di alami Rivan, hampir di saat yang sama, Iwan merasakan seperti ada yang menyentuh pergelangan kaki kanannya di balik bagian luar hammock. Sentuhan itu terasa lain. Kepalanya serasa membesar. Iwan bergumam dengan bahasa Mongondow, ’’Dikapa mo ganggu. Sin Posiugan’’ (Jangan ganggu. Saya mau tidur)’’.

Inilah suasana basecamp terakhir untuk berlamam sebelum kami menuju ke lokasi air terjun. (Foto capt: Faisal Manoppo)

Di saat yang bersamaan, Iwan dan Rivan mendengar suara seruling melantunkan nada. Agak samar terdengar karena terganggu dengan suara arus sungai. Di dalam hammock, Iwan mencoba fokus memisahkan suara air sungai dengan seruling. Nada seruling tidak asing dia dengar.

Seperti nada penjemputan tamu biasa dengan tamu besar kerajaan Mongondow. Cukup lama. Nada seruling yang berganti-ganti lagu ini sangat akrab ditelinganya manakala sebuah acara adat menyambut tamu besar dari luar daerah dengan tarian adat. Bedanya hanya seruling saja, tidak ada alat musik lainnya yang biasa digunakan.

Rivan beranjak dari hammock-nya dan mendekati perapian. Sendirian Rivan mencoba kembali menyalakan perapian dan mengambil rokok. Menyusul kemudian Iwan mendekati Rivan. Mereka berdua saling terdiam menyimpan seribu tanya. Tanpa bersuara. Sehabis beberapa batang rokok, keduanya lantas kembali ke hammock. Suara seruling dan gangguan dari ‘dunia lain’ tidak terulang lagi. Hingga mereka tertidur.

Baru terungkap. Posisi kami di basecamp sudah berada di sebuah bukit bernama Kabela. Nama ini adalah sebuah tarian adat tua suku Mongondow yang turun-temurun masih—hingga kini—digunakan untuk penjemputan tamu dari dekat atau jauh. Memang di antara kami, adalah Chan dan saya sendiri memiliki darah keturunan langsung dari sebuah kerajaan di Mongondow. Saya dan Chan bermarga Manoppo. Mungkin itu maksud bunyi seruling yang didahului ucapan salam dari para leluhur di alam lain. Wallahu’alam bishawab.

Apa yang di alami oleh Iwan dan Rivan belum kami ketahui sampai akhirnya kami baru diceritakan sekembalinya perjalanan pulang. Iwan dan Rivan tidak ingin tim lainnya tahu dan berakhir panik karena esoknya kami masih bermalam lagi. (BERSAMBUNG)

 

Tulisan sebelumnya:

• Tanjakan Edan (Eps: III) XPALA Ekspedisi Selendang Biru— sebuah catatan perjalanan di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Desa Bumbung, Bolmong, Indonesia

• (Eps: II) XPALA ’’Ekspedisi Selendang Biru’’— sebuah catatan perjalanan di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Desa Bumbung, Bolmong, Indonesia

• (Eps: I) XPALA ’’Ekspedisi Selendang Biru’’–sebuah catatan perjalanan di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Desa Bumbung, Bolmong, Indonesia

 

 

Bagikan berita ini:

Comments are closed.

instink.net