Sore itu ia sedang memilah biji kemiri ketika saya tiba di rumahnya, Desa Bilalang III, Kecamatan Bilalang, Kabupaten Bolaang Mongondow. Rumah milik Ena Manangin–ibu dari ibu Aldi Yoyang ini–memiliki tiga kamar tidur untuk dihuni oleh tiga kepala rumah tangga. Masing-masing kamar menjadi tempat tidur neneknya, keluarga Hardi Pobela dan isterinya Nurhayana (kakak dari ibu Aldi), serta keluarga Almarhum ayah Aldi. Kamar tidur berukuran 2,5×3 ini menjadi tempat istirahat bagi Aldi, ibu dan dua adiknya sekaligus. Aldi dapat porsi tidur di lantai beralaskan tikar.
“Masih ingat saya?” kalimat pertama meluncur dari mulut saya ketika bersalaman dengan Aldi dan ibunya. “Masih.” Nurtiana Pobela, ibu Aldi, membalas pertanyaan sembari mempersilakan saya duduk.
Bagi saya, pertemuan dengan keluarga ini untuk ketiga kalinya. Di tahun 2019, dua kali kami bertemu di rumah yang sama. Pertemuan pertama kami waktu itu saat saya ikut bersama perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk urusan penyelidikan tragedi tambang di Desa Bakan (Ayah Aldi menjadi salah satu korban). Pada pertemuan kedua saya mendampingi kawan jurnalis saat memberikan hadiah berupa perlengkapan sekolah serta uang tunai kepada Aldi. Saat itu, ia baru berusia 13 tahun, dan baru naik ke kelas III di SMPN 3 Kotamobagu.
Ada cerita yang sempat membuat kami tidak enak hati sewaktu mengantarkan hadiah kepada Aldi. Saat itu kami baru mengetahui ternyata ia memiliki adik perempuan yang bersekolah di SDN III Bilalang Utara. Tidak enaknya, perlengkapan sekolah yang dibeli hanya untuk Aldi. Untunglah rekan saya masih sempat menyisihkan uang dalam amplop kemudian diberikan kepada ibunya. “Ini untuk keperluan sekolah Nanda.” Rekan saya tampak lega saat memberikan amplop berisi uang tersebut. Sayapun ikut lega.
Ia dan adiknya, Nanda Yoyang yang waktu itu usianya belum genap 6 tahun, telah menjadi yatim sejak ditinggal ayahnya, Andi Yoyang, pada Februari 2019. Andi merupakan salah satu korban tragedi runtuhnya bebatuan di lokasi pertambangan tradisional di Desa Bakan. Penambang itu tidak ditemukan hingga kini. Peristiwa ini tentunya menjadi pukulan berat bagi Nurtiana, Aldi maupun Nanda. Sedari awal saya tidak mengungkit peristiwa ini dalam perbincangan kami.
“Lanjut sekolah dimana?” Saya membuka percakapan dengan Aldi. “SMA Negeri 7 Kotamobagu,” jawabnya. “Itu, yang didekat kantor Polantas.” Ia mencoba lebih detail menjelaskan letak sekolahnya. Saya tidak lagi menanyakan kelas berapa, sebab jika dihitung dari pertemuan awal kami di tahun 2019, seharusnya tahun ini ia adalah siswa baru di sekolah itu. “Kelas 1 MIA.” Dugaan itu benar ketika ia melanjutkan jawaban atas pertanyaan saya sebelumnya.
Percakapan kami berlanjut seputar aktifitasnya dalam setahun terakhir. Saya mengetahui kalau ia bekerja membantu usaha pamannya, Hardi Pobela, yang memiliki usaha mengepul kopra dan kemiri dari petani sekitar desa mereka tinggal. Dalam usaha pamannya, Aldi bertugas memisahkan kemiri yang kualitasnya masih bagus dan tidak. Tugas satunya lagi, membelah kopra menjadi empat bagian. Pekerjaan ini ia lakukan setiap hari dalam seminggu sejak pukul 07.00 hingga pukul 07.00 malam. “Waktu istirahat pada pukul 12.00 siang,” katanya. Sebenarnya tidak sehari full ia bekerja, hanya saja petani yang menjual hasil kebunnya kepada Hardi waktunya tidak menentu.
Bekerja untuk pamannya, ia mendapat imbalan uang Rp500.000 setiap bulannya. Dari hasil keringatnya itu, ia bisa membantu ibunya memenuhi keperluan sehari-hari, membeli perlengkapan sekolahnya, dan juga untuk jajannya. “Saya baru saja membeli sepatu sekolah.” Agak malu-malu ia mengatakan itu. Tapi menurut saya, itu ungkapan polos tidak ingin menyombongkan diri.
Semenjak ayahnya tiada, Aldi memikul tanggung jawab besar untuk keluarganya. Selain bekerja untuk pamannya, ia rela bangun sejak dini hari, mengais dengan becak motor (Bentor) warisan ayahnya. Mengais Bentor dikerjakannya pada hari Sabtu dan Minggu mulai pukul 04.00 hingga 07.00 Wita. Pekerjaan mengais dengan Bentor pernah ia ceritakan dipertemuan kedua kami saat memberikan hadiah perlengkapan sekolah kepadanya di tahun 2019 lalu. Profesi itu masih ia jalani hingga sekarang. “Kalau hari lain saya takut ada polisi lalu lintas.” Alasannya memilih hari Sabtu dan Minggu. Dengan Bentor, ia mampu menghasilkan uang sebanyak Rp30.000 sampai Rp40.000. Sepulang mengais Bentor, ia melanjutkan kerja dengan pamannya.
Luar biasa. Kalimat itu tertahan di hati saya. Bagaimana saya tidak takjub dengan anak ini, ia bercerita seakan tanpa beban. Apakah anak ini tidak memikirkan waktu untuk bermain dengan teman-temannya? Apakah ia tidak capek? Sekelebat berbagai pertanyaan ini melintas di kepala. Tidak mau penasaran, saya menanyakan hal itu. “Lebih banyak main game di dekat rumah pak sangadi (kepala desa setempat).” Ditempat itu ia dan teman-temannya menyewa jaringan wifi. Mereka masing-masing harus merogoh uang Rp3000 untuk mendapatkan password wifi. Game mobile legend menjadi permainan favorit ia dan temannya.
Sebelum meninggal, almarhum Andi memiliki 1 unit motor, 1 unit Bentor dan warung, serta kebun yang ditanami kemiri, harta ini kemudian menjadi warisan untuk keluarga yang ditinggalkannya. Tapi desakan akan kebutuhan hidup, terpaksa motor warisan itu dijual ibu Aldi. Nurtiana juga tidak mampu meneruskan usaha warungnya. Tersisa hanya kebun dan Bentor yang digunakan Aldi. Menjadi single parent, Nurtiana tidak mau berpangku tangan saja. Dia tetap bertanggung jawab atas masa depan anak-anaknya.
Pandangan saya beralih ke Nurtiana. Ia cerita, pada akhir tahun 2019 atau tepatnya pada bulan Oktober, ia memperoleh pekerjaan di toko kelontong milik seorang warga keturunan Tionghoa. Toko itu terletak di kompleks pasar 23 Maret, Kota Kotamobagu. Sayangnya pekerjaan yang ia jalani tak bertahan lama. Sejak virus corona mewabah, ia terpaksa berhenti bekerja. Bukan karena diberhentikan, tapi ia tidak mau virus yang dikenal dengan nama virus corona desiase (COVID-19) itu menyerang kesehatannya.
“Saya takut corona.” Sangat jelas kesedihan terpancar dari matanya karena harus rela kehilangan pekerjaan. Saat mengungkapkan alasannya berhenti bekerja, dia hanya menatap dinding ruang tamu rumah itu, tempat saya, Aldi dan ia berbincang. Sesekali Ena Manangin, nenek Aldi, datang dari arah dapur kemudian duduk ikut mendengarkan pembicaraan kami.
Selaku ibu, ia bangga dengan anak sulungnya itu. Menurut dia, Aldi hampir tidak pernah mengeluh meski kehidupan yang dia jalani tidak seperti anak-anak lain seumuran dengannya, yang banyak memiliki waktu untuk bermain. Saya menoleh kepada Aldi yang duduk disamping saya. Sesekali ia memainkan gawainya. “Ini pasti dibeli dari hasil keringatnya.” Bangga bercampur haru tersirat ketika mencuri pandang kearah gawainya.
Persamaan Aldi dengan anak-anak lainnya, ia juga memendam asa untuk masa depannya yang lebih baik. Keinginannya menjadi dokter. “Kenapa memilih menjadi dokter?” saya mencoba menggali lebih dalam alasan memilih profesi menjadi dokter. “Tidak tahu.” Tersenyum penuh makna ia mengatakannya. Tapi dari pemikiran saya, Aldi hanya belum menemukan kata yang tepat saja untuk menjelaskan keinginannya menjadi dokter.
Saya tidak ingin memaksanya untuk mendapatkan jawaban hanya untuk sekadar memuaskan keingintahuan. Alam sadar saya berkata, jika di umur 13 tahun saja ia berupaya menjadi tulang punggung keluarga, bagaimana jika dewasanya nanti. Ia pasti menginginkan ibu dan adiknya hidup bahagia jauh lebih baik dari saat ini.
Aldi Yoyang dan mungkin masih banyak lagi anak-anak lain seumurnya hidup bak seorang ayah, menjadi penopang ekonomi keluarga. Andaikan Aldi atau anak lainnya mendapat perhatian lebih serius dari pemerintah atau orang berharta lebih dari cukup, mereka mungkin akan memiliki waktu bermain yang cukup, tidak seperti sekarang.
Tak terasa hampir sejam kami berbincang, saya memutuskan untuk menyudahi kunjungan silaturahmi ini. Aldi juga harus melanjutkan pekerjaannya memilah kemiri. Saya sampai tak enak hati karena telah menyita waktunya bekerja. Beruntung ia mendapatkan paman yang baik.
Saat itu waktu hampir menunjukkan pukul 17.00 sore. Sebelum pamit, saya sempat bertanya kalau ia suka menikmati kopi. “Iya, saya suka minum kopi.” Cukup kaget mendengar jawabannya. Seusia itu ia menggemari kopi. Terkadang, menyeruput kopi bisa melepaskan kepenatan di kepala maupun di hati. Serasa bebas. “Lain kali saya akan mengajak kamu nongkrong di kedai kopi.” Janji itu saya utarakan kepadanya. “Boleh,” Sepertinya ia ingin sekali..
Dalam perjalanan pulang, pikiran saya belum bisa lepas memikirkan anak itu. Jika membandingkan diantara kami, saya mungkin tak akan sanggup menjalani hidup seperti Aldi. Tapi saya bersyukur dapat bertemu dengannya hari ini. Ia mengajarkan arti kehilangan ayah, kemudian mengganti perannya. “Nasib memang hanya kita yang mampu merubahnya.” Gumamku mengulang kalimat yang banyak saya dengar dari orang-orang.
Cermin hidup yang nampak jelas ini akan saya ajarkan kepada tiga anak saya, seorang putri yang baru saja genap berusia 16 tahun tepat di Hari Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 2020, serta kedua putra saya yang berusia 9 dan 6 tahun. Anak-anak ini telah kehilangan ibu mereka sejak 26 September 2018 lalu karena diserang penyakit kanker serviks.
Oleh: Rahmat Putra Kadullah